sorascent

—kaveh pov

“Nak, bisa pulang dulu?”

Sebuah pesan singkat namun membuat hati gue bercampur-aduk. Padahal, hari ini hari Minggu—hari gue beristirahat dari gempuran tugas-tugas besar yang diberikan yang mulia dosen. Seenaknya aja, emangnya dia gak pernah mikir perasaan gue?

You blocked this contact.

Hm? Pop-up notifikasi dari Alhaitham.

Alhaitham, ya? Bicara tentangnya selalu membuka memori gue pada saat SMA dulu. Alhaitham, adalah anak yang cukup populer, dengan titel ketua ekstrakurikuler Catur, pemegang medali silver OSN bidang Geografi, anak kesayangan guru, dan yang pernah menjadi alasan kenapa gue daftar mentoring olimpiade Geografi hanya untuk cari perhatian ke dia aja. Padahal, setiap gue melihat judul handbook-nya udah bikin gue enek.

Iya

Sini

(Location)

—and, here I am. Sekarang gue berdiri depannya, mata kami bertatapan. Dia, yang memakai kemeja hitam slim-fit digulung sampai ke siku dan kacamata bulatnya yang bertengger pada hidungnya. Jemarinya berhenti mengetik sejenak, naik ke atas pucuk hidungnya, membenarkan kacamatanya yang sedikit menurun.

And you know, for youI'd bleed myself dry.

(”Hayi, If the world was ending, what would be the last thing you'll do?

“Istirahat.”

“…”

“Hm. Menurut gue, complete reset untuk bumi itu diperlukan. Kalau gue reinkarnasi di kemudian hari, bumi mungkin jadi tempat yang lebih baik.”

“Kalau reinkarnasi, otomatis lupa sama gue dong?”

I’ll find you, Kay.”)


sorascents 2023

tags: 600 words.

Xiao, kalau kata Papa, kamu lanjut les aja, jangan sampe pikiran kamu ke-distract gara-gara Papa.”

Kata-kata Kak Ganyu menghantui pikirannya. Bagaimana tidak panik? Pagi ini Ayahnya tiba-tiba pingsan saat dirinya tengah memasak sarapan. Buru-buru dengan kecepatan secepat kilat, ia menelpon rumah sakit langganannya dan Kak Ganyu. Beruntunglah pagi itu adalah hari minggu—yang artinya tidak ada gangguan sekolah maupun dari tempat les.

Xiao menyenderkan punggungnya pada bangku di luar kamar ayahnya dirawat. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari slingbag-nya. Sebuah dompet hitam-merah bergambar spiderman ia bolak-balikkan. Mata ambernya menangkap foto pada sisi dompetnya. Alisnya mengernyit.

Foto Aether.

“Xiao,” suara Yun Jin yang duduk di sebelahnya menyadarkan Xiao yang tengah terdiam. Xiao menoleh, langsung menyelipkan dompet itu pada tasnya, cepat. “Kenapa?” tanyanya panik.

“Gue yakin ini bakal jadi awal dari perjalanan kita menjadi tumbuh dewasa, untuk semua keputusan lo kedepannya, gue harap lo nggak bakal menyesali semua keputusan yang lo ambil.”

“Maksud lo?”

Yun Jin terdiam sejenak. “Keputusan buat nggak ngambil beasiswa yang Papa gue tawarin buat lo.”

Xiao meremas dompet di tangan kirinya, kemudian iris ambernya menoleh—menolak melihat Yun Jin. “Gue nggak bisa ninggalin bokap gue, Yun Jin. Walaupun ada Kak Ganyu sama Qiqi. Rasanya berdosa kalo gue tinggal… Walaupun beasiswa dari bokap lo itu impian gue.”

“...”

Hening menyelimuti Minggu sore di lorong rumah sakit. Sampai-sampai jam dinding di seberang Xiao terdengar di kedua telinganya. Perihal beasiswa Universitas Teknik yang ia idamkan berkat ayah Yun Jin—yang merupakan kawan lama ayahnya. Namun, berat hati ia tidak mengambilnya, sebab yang menjadi masalah karena ia akan berpisah dengan keluarganya. Ia tidak akan meninggalkan ayahnya yang sedang sakit di kota ini, setidaknya sampai kondisinya pulih.

“Terus, sekarang lo mau nungguin Papa lo disini?” tanya Yun Jin memecahkan suasana yang hening. “Kata Kak Ganyu, Papa lo udah mendingan, terus lo disuruh pulang,” tambahnya.

Xiao meremas (lagi) dompet Aether yang ia genggam. “Nggak tahu, maybe gue mau keluar jalan-jalan sebentar.”

Yun Jin memberikan tatapan menyelidik, kemudian mata merah menyalanya melirik ke arah dompet yang Xiao pegang dengan jenaka. “Ke rumah Aether?”

“Kok tiba-tiba Aether?!” tanyanya panik, telinganya memerah.

“Gue kira lo mau ngembaliin dompetnya Aether.”

“Hari Selasa aja, sekalian Inten.”

“Lebih cepat lebih baik, tau! Coba bayangin kalo Aether luntang-luntung nyariin dompetnya?” bujuk Yun Jin seraya berdiri menarik Xiao dari tempat duduknya, kemudian mendorong Xiao keluar rumah sakit, menuju tempat dimana mobilnya terparkir. “Lo di-banned dari rumah sakit Papa gue!”

Xiao mendengus. Dasar orang kaya.


Beruntung didalam dompet Aether terdapat alamatnya lengkap dengan side note: ‘ambil aja uangnya gapapa, tapi foto sama KTP-nya tolong dikembalikan!’

Sehingga Xiao tidak perlu repot untuk menanyakan alamat Aether via whatsapp. Ia memelankan dan kemudian memakirkan mobilnya pada jalanan kosong didepan minimarket dekat rumah Aether. Berpikir untuk sekedar membeli sekaleng minuman berkarbonasi.

Sedetik sebelum kakinya menuju minimarket, Ia membeku.

Sebab, jelas-jelas Aether berada di depannya, rambut emasnya yang biasanya dikepang rapih, kali ini digerai sehingga terlihat sangat panjang. Aether berjongkok dengan menggunakan sweater kebesaran bewarna ungu dan celana hitam pendek selutut. Didepannya, terlihat ia sedang... memberi makan kucing-kucing liar?

Merasa tidak nyaman sebab merasa diperhatikan, Aether menoleh ke belakangnya. Ia membelalak kaget dan bergegas berdiri—tidak lupa Aether menepok-nepok kedua tangannya di sisi pinggangnya. Dengan senyum selebar dan semanis kue brownies buatan Mama Albedo, Aether menepuk bahunya.

“Hai, Xiao!”

Xiao tidak mempercayai apa yang ia rasakan dengan tubuhnya kali ini, tetapi dadanya berdebar sangat kencang, darahnya berdesir, tubuhnnya terasa tersengat listrik, pikirannya terdistraksi, Gosh.

Menggunakan tenaga yang tersisa, Xiao berdehem pelan. “Dompet lo kemaren nginep di tas gue.”

Mulut Aether menganga, dengan kikuk ia mengambil dompet merah-hitam spiderman-nya pada tangan Xiao. “Thanks! Gue tadinya mau nge-chat lo, nanyain, tapi nggak jadi.”

“Oke, gue cabut dulu berarti ya.”

“Heh? Cepet banget? Nggak sekalian mampir?” tanya Aether sembari memiringkan kepalanya.

Xiao hanya menyeringai, tangannya melambai. “See you lusa, di Inten.”

Dan begitupula adanya, Xiao buru-buru seperti sedikit berlari menuju mobilnya, tidak lupa membuka pintunya, dan langsung menenggelamkan kepalanya pada kemudi mobil. Menyembunyikan mukanya yang amat sangat-sangat-sangat memerah.

So, it started with a simple ‘hello’, Turning into romantic visions.


© sha — @captainseijo 2021

cw // deep kiss , 1,1k words , throwback

Akhirnya. Akhirnya. Akhirnya.

Setelah kurang lebih seminggu Aether—yang masih di tubuh Xiao, bisa menginjakkan kakinya di Mondstadt. Yah, walaupun harus berurusan dengan Hu Tao si gadis enerjik yang sedikit iseng, dengan bantuan Chongyun atau kerap dipanggil Achong, ia berhasil kabur sesuai saran Xiao.

Mereka bingung sepertinya, sebab Xiao semingguan ini tampak out of character. Tapi yah, bukan salah dia juga sih. Salah Xiao juga karena menciumnya. Ugh, kepalanya pusing mengingat kejadian seminggu lalu jadinya.

Kepala hijaunya celingak-celinguk, netra amber milik Xiao menangkap sosok dirinya yang sedang berjalan pelan menggunakan jaket hitam dengan kaus band ONE OK ROCK hitam milik Lumine, dengan celana krem pendek selutut. Aether melihatnya menganga. Apalagi ketika rambutnya diikat asal-asalan hingga membentuk ponytail berantakan. Seperti berandalan.

“Itu kan baju Lumine!” seru Aether. Ia bingung, Lumine biasanya sangat protektif terhadap barang-barangnya. Tapi kok...

“Oh? Adikmu nggak ada di apart, by the way. Dari kemarin lusa dia menginap di rumah Yun Jin. Nanti balik sorean, katanya.”

Oh. Pantas. Hampir saja ia memukul Xiao.

“Oke, jadi kegiatan hari ini kita ke apart, terus mulai ‘itu’?”

“Mulai apa?” Xiao—Aether menaikkan alisnya. Astaga, sekali lagi ia melihatnya menganga. Ternyata dia bisa semenyebalkan ini.

UGH. “Ciuman. Biar tubuh kita balik ke semula.”

Xiao (Aether) menghela napasnya, kemudian tersenyum. “Iya, yuk.”


Oke, komandan. Stage satu telah selesai.

Xiao memegang dadanya yang berdebar tidak karuan. Sebentar lagi dia dan Aether akan ciuman. Yah, walaupun untuk mengembalikan tubuh mereka masing-masing sih. Tetapi tetap saja, di satu sisi akan awkward karena ia berasa mencium dirinya sendiri dan di satu sisi, ia akan mencium Aether.

Aether, cuy. Setelah semingguan lebih di tubuh Aether (walaupun ia masih belum terbiasa karena tubuh ini gampang lelah) ia mengetahui satu hal; Aether memiliki tubuh yang ramping dan kecil. Gila. Xiao saja yang melihatnya dalam tubuh Aether rasanya ingin menganga terus.

Oke, back to topic. Jujur deh, sehabis ini Xiao rasanya ingin langsung menggebet Aether. Kalo kata Hu Tao, Aether ‘tuh tipe idamannya. Ia memukul kepala pirangnya pelan, sebab mengingat sesuatu hal yang sangat urgent!

‘Semoga Aether nggak tau gue wota, anjir!’

Musik tahun baru disetel keras-keras. Ajax, si empunya rumah, sedang bersender di sofa biru keluarganya. Melihat itu Aether beranjak pergi menuju dapur, mengambil segelas sampanye—meneguknya sampai habis, kemudian menengok ke sampingnya. Terlihat pria berambut raven sedang menelungkupkan tangannya.

“Hey, are you up?” tanya Aether, ia meneguk lagi gelas sampanye di tangannya. Uh Oh, ini gelas ketiganya.

“Yeah, gue agak tipsy. Tapi nggak apa-apa,” jawabnya. “Gue, Sho.”

Gelas keempat ia teguk, “Aeth. Jadi, what’s your new year resolution, Sho?” tanyanya.

“Gue mau punya pacar, and i want to kiss someone on new year's eve, lo?” racaunya, ia menumpu kepalanya dengan satu tangan. Mata ambernya menyayu, dan ia tersenyum miring.

So do I,” satu tegukkan terakhir, artinya gelas kelima sudah ia habiskan, Aether cukup mabuk sekarang. “Sho, want to try to kiss... me?

“Kenapa enggak?”

Aether menghembuskan napasnya pelan, memposisikan dirinya di depan Xiao yang duduk di meja pantry. Dicapitnya wajah Xiao dengan tangan mungilnya. Tangan Xiao berpindah menuju pinggangnya. “Belum tahun baru, ‘kan?” tanya Xiao.

“Mau pindah tempat?”

Xiao mengangguk, dan langsung menyeret Aether pergi menuju sofa panjang di depan ruang keluarga, disebelah pohon natal diatas mistletoe hijau-emas aneh tepatnya, tak lupa memberikan ciuman-ciuman kecil di rahang Aether yang direspons cekikik pelan oleh si surai emas.

Aether duduk di samping Xiao, ia menggenggam tangan Xiao. Musik sudah dikecilkan sebab mereka ingin menghitung mundur dan meneriakkan, ‘HAPPY NEW YEAR!

“Tiga!”

“Dua!”

“Satu!”

HAPPY NEW YEAR!

Serentak saat mereka meneriakkan kalimat itu, bibir mereka menyatu. Saling melumat satu sama lain hingga terdengar decakan dan erangan Aether. Keadaan di rumah Childe hening sesaat melihat Xiao dan Aether—sangat passionate, hingga terputus oleh satu teriakan Hu Tao yang memekik dan Xiao yang ambruk.

“XIAOO!”

Oh, begitu ceritanya.

Xiao menepok jidatnya sembari melirik Aether yang sedang menyembunyikan telinganya dengan kedua tangannya. Archons. Ia tidak menyangka, ia benar-benar menjadi bintang utama saat party Childe seminggu yang lalu...

Bagaimana bisa ia melakukan hal yang sangat passionate dengan sekali percobaan? Butuh lebih dari sekali percobaan untuk mendapatkan ciuman yang begitu...

Aether menempelkan sidik jarinya ke gagang pintu otomatis yang tentu saja, terespons dengan warna merah dan “TRY AGAIN” sebagai tulisan yang mendukungnya.

Duh, inget lo masih di tubuh gue, Aether.

Akhirnya Xiao membuka pintu apartemennya, diikuti Aether yang membisu. Mungkin karena sama-sama ingat kejadian seminggu yang lalu?

Aether duduk di sofa apartemennya. Xiao mengikutinya, ia berdiri di depan Aether. Sebenarnya ia kesal juga, selera baju yang dipakai Aether cukup... aneh—menurutnya. Ia seperti tidak melihat dirinya yang biasanya.

Ia memakai kemeja kotak-kotak ungu-biru muda pemberian Xingqiu saat ulang tahunnya tahun lalu yang tidak dikancing, dengan kaus putih bergambar “elmo” pemberian Hu Tao yang tidak pernah ia pakai karena bentuknya merah dan aneh. Lengkap dengan jeans biru muda yang robek di kedua lututnya. Tidak ada hitam.

Baiklah.

Xiao lalu melompat di hadapan Aether. Posisinya Xiao duduk menyila berhadapan dengan Aether yang duduk bersimpuh. “Are you ready?” tanya Xiao.

“Siap nggak siap harus siap.”

Oke. Xiao kemudian memajukan tubuhnya pelan ia menutup matanya, hingga dahi mereka bersentuhan, Aether memegang pundak Xiao, kemudian menyentaknya. Xiao kaget dan membuka matanya. Tangan Aether masih di pundaknya.

“Gue! Gue ga bisa, kayak cium diri sendiri... Awkward!” sentak Aether, telinganya memerah diantara rambut ravennya. “Sorry,” tambahnya.

Xiao menghela napasnya. “Anggep aja self-love, cium diri sendiri. Atau enggak, tutup mata aja dari sekarang.”

Aether tergagap, “O-oke! Gue tutup mata,” ia menutup matanya.

Kali ini setelah dahi mereka bersentuhan, Xiao berbisik, “Relax, bayangin kalo gue itu Leornado Dicaprio,” Xiao menutup matanya, kedua tangannya bergerak mencapit wajahnya—Aether, dan mulai mendekatkan bibir mereka hingga menyatu.

Malu-malu pada awalnya, hingga akhirnya Xiao melumat bibir Aether yang diikuti Aether melumatnya juga. Tak lama kemudian, kedua tangan Aether pindah dari pundak Xiao hingga naik—memeluk leher Xiao, menekan agar ciuman mereka semakin dalam. Xiao mendorong tubuh Aether hingga Aether terlentang dibawahnya. Aether mengerang, ia melepaskan kunciran ponytail yang tadi membuatnya tidak nyaman, kemudian kedua tangannya menangkap leher Xiao kembali. Sampai-sampai...

‘Kemarin ‘kan ciumannya pas mabuk, kalo sekarang tetep bisa tukeran nggak ya?’

Xiao kemudian melepas ciumannya, membuat benang-benang saliva diantara jarak mereka, mata ambernya melihat Aether dibawahnya dengan tangan (masih) di lehernya, rambut emasnya sudah cukup berantakan di sisi sofa. Dadanya naik turun dengan cepat, menghirup udara dengan rakus. Oh? Sudah berganti.

Oh Archons, nggak perlu minum sampanye, ciuman Aether cukup membuatnya mabuk.’

“Aeth, If I catch you...” Ucap Xiao, ia benar-benar gila sekarang.

Aether tersenyum diantara jarak yang kian mendekat, “You caught me, what's next?”

We kissed.”

Tak lama kemudian bibir mereka menyatu kembali. Kali ini ciuman ketiga mereka berdua, saling menyelam dalam ciuman masing-masing, tangan yang semakin bergerak liar hingga Aether yang jatuh dari sofa dengan tangan Xiao yang sudah siap mengcover kepalanya, decakan demi decakan terpicu karena mereka berdua yang—

—Diakhiri dengan lemparan sandal Lumine yang tepat mengenai kepala Xiao. Yah, dia emang anak basket. Keduanya menegok kesamping, terlihat Lumine yang memerah menganga, Yun Jin yang mematung membawa belanjaan mereka, Venti yang menutup mulut dengan satu tangannya—menyembunyikan kekehannya… dan Hu Tao.

“Kan, gue bilang. Bakal kebablasan,” sahut Venti, sesekali terkekeh.

Oh My Archons, this is bad.


© sha — @captainseijo 2022

cw / ooc , full of xiae pcrn !!

Xiao merapikan buku-bukunya. Tangan kanannya mengangkat, menunjukan jam setengah tiga sore, belum ada tanda-tanda Aether—pacarnya di depan kelasnya. Ia meregangkan tangannya sejenak, dadanya berdebar kembali mengingat hari ini, setelah drama per-sender-senderan aneh bin ajaib, yang ternyata sender Langitnya adalah crush-nya sendiri aka Aether.

Yah, jodoh kan emang nggak kemana.

“Jadi, lo sama abang gue sekarang?”

Xiao menegok, Lumine duduk di depan kursi mejanya sambil menggenggam sapu, ‘ah hari ini jadwal dia piket’ pikirnya. Xiao hanya menggangguk pelan, “Kenapa?” tanyanya.

Duh, calon adik ipar. Tenang, jantung.

Lumine di depannya hanya melipat tangannya, kedua manik emas senada dengan Aether-nya menyipit, kemudian menghela napasnya. “Jangan buat abang gue sakit hati, good luck buat ngedatenya hari ini ya,” ujarnya. Gadis itu tersenyum, kemudian berdiri dan menepuk pundak Xiao yang mematung. Lumine berjinjit kemudian berbisik, “Kalo lo buat abang gue sedih—” jari telunjuknya bergerak menggambarkan isyarat mengiris leher. “Janji, ya?”

“Janji,” jawab Xiao yang direspon oleh dengusan Lumine.

Lagipula... Dirinya tidak akan mungkin membuat Aether-nya sedih, kan? Iya kan?


‘Kalo gue mau pegangan tangan pas jalan di mall, kira-kira Xiao nyaman nggak ya?’

Kata-kata itu terngiang dalam kepala Aether. Walaupun sudah resmi menjadi pacar Xiao, tetap saja meminta hal yang normal seperti itu saja membuat dadanya sesak—maksudnya, belum terbiasa.

Rasanya seperti mimpi.

“Aether?”

Lamunan Aether dihentikan sejenak, sebab Xiao yang mengenakan hoodie abu-abu—menyembunyikan seragam putih sekolah didepannya memanggil dengan tangan terlipat, manik amber-nya terlihat khawatir.

“Hm?”

“Mikirin apa, sih?”

Yang ditanya, hanya tersenyum malu-malu, kemudian Aether memberikan tangannya kepada Xiao. Xiao mendengus pelan kemudian menautkan jemarinya dengan jemari Aether, sesekali jempol Xiao mengusap pelan dengan respon kekehan Aether.

Untuk setiap waktu yang mereka habiskan bersama, jatuh cinta berkali-kali kepada Xiao adalah hal yang tak terhindarkan.

“Ae, liat deh.”

Kadang ia tidak menyangka, Xiao yang itu, anggota paskib yang rumornya galak, bisa semanis ini. Dalam artian, jika ia tertawa, matanya menyipit—Aether melihatnya seperti kucing. Kalau merajuk, bibirnya cemberut. Kalau malu, telinganya memerah. “Kamu mau beli couple keychain?” tanya Aether.

Cringe, ya?”

“Nggak kok, lucu!”

Kejadian selanjutnya adalah Aether mengambil salah satu bagian pasang keychain dari tangan Xiao, mengangkatnya sampai sejajar dengan matanya, “Ini mah, selera kamu banget, hahaha..” kata Aether, tertawa. Xiao mendengus, telinganya memerah, kemudian meminta keychain itu agar segera ia bayar.

Xiao, Aether, dan bumi gonjang-ganjing.

Aether mengembangkan senyum selebar mungkin ketika Xiao merangkul tangannya pada pundaknya. Ketika Xiao menawarkan untuk mengantar Aether pulang dari kencannya hari ini, alih-alih pulang kerumah, mereka singgah sebentar pada taman dekat rumah Aether yang kebetulan sepi. Jemari Aether menyentuh couple keychain yang jujur sedikit konyol tetapi lucu, Aether langsung memasangnya pada ransel sekolahnya. Biar semangat sekolah!

Sempat Aether berpikir bahwa; jika ia confess duluan—tidak bersembunyi di dalam permainan dan drama surat menyurat sender Langit, apakah semuanya akan sama seperti ini? Apa Xiao akan menerimanya, ataukah ia akan menolaknya?

Tapi sebaiknya, pemikiran itu harus dikubur dalam-dalam ‘kan?

Aether menyenderkan kepala emasnya kedalam lekuk leher Xiao yang tengah merangkulnya. Jemari Xiao berpindah mengusap kepala Aether, pelan. Aether memejamkan matanya.

Pada momen kala itu, hanya mereka berdua, yang terus disana hingga malam menghampiri.


© sha — @captainseijo 2022

Aether berlarian menuju depan venue yang telah ramai, berdesakan bersama lautan manusia. Sebab, ia ingin melihat Xiao yang sedang perform dengan bangganya dan Aether tentu saja tidak akan mungkin melewatkannya. Here it is, walaupun ia sudah berkali-kali melihat Xiao dengan seragam paskibranya, ia tidak pernah merasa bosan.

It’s been four years and he still get those stupid butterflies.

“Jadi, Xiao ya?” tanya Cyno disebelahnya, Aether disebelahnya hanya mengangguk-angguk pelan. Ia menggenggam handy talkie-nya erat, kemudian ia menghela napasnya. “Emang jelas banget, ya?”

“Jelas. Banget. Xiao bego sih kalau nggak tau kalo selama ini lo suka sama dia,” Cyno menyelipkan tangannya di saku celananya. Iris jingganya menerawang kearah lautan manusia yang (sekarang) sedang menikmati peforma band sekolahnya.

It’s because I’m not that close with Xiao,” Aether menoleh melihat kearah Cyno, sedangkan sang lawan bicara masih (tetap) melihat kearah lain—alih-alih tidak ingin melihat kearah Aether.

“Hey Cyno, I’m sorry for your feelings, I can’t give it back.

Cyno mendengus, kemudian tertawa pelan.

“Udah gue bilang berapa kali sih, Eter? Dari gerak-gerik lo aja gue udah tau kalo kita cocoknya temenan,” ujar Cyno, tangannya ia angkat sehingga dapat merangkul pundak Aether.

“Oke, sekarang jemput pangeran lo, Aether. Awas aja kalo ditolak, perasaan gue mahal harganya,” guraunya. Aether kemudian mendengus dan mengangguk mendengarnya. Oke! Wish me luck! Thank you and sorry, my favorite ketos! guraunya, tangannya mengepal, menggangkatnya kemudian berlari menjauhi Cyno.

I wish I were heather.


Jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam ketika panitia pensi sedang bersiap untuk performa artis—yang paling ditunggu-tunggu. Xiao memegang hoodie abu-abunya, mencoba menormalkan detak jantungnya yang sedaritadi berdetak tak beraturan. Xiao tahu seharusnya ia tidak sebegitu excited karena sebentar lagi ia bertemu sender message corner-nya hari ini, tapi hatinya berkata lain.

Nggak, nggak. Gue masih suka Aether.

Tidak ingin pusing memikirkan itu, ia akhirnya mengambil ponselnya dari saku hoodie-nya, kemudian mengetik pesan pada sender.

Xiao: Gue di depan booth minuman, lo kesini ya, gue pake hoodie abu-abu. Xiao: Sends a photo.

Satu menit.

Lima menit.

Tiga puluh menit.

Belum ada tanda-tanda jawaban masuk. Lagi sibuk kayanya, pikir Xiao. Ia kemudian menyelipkan kembali ponselnya pada saku hoodienya. Kemudian netra ambernya beralih pada panggung venue dengan pacar Kazuha, Scaramouche dan teman sekelas Aether, Yanfei, sebagai pembawa acara malam ini. Kerlap-kerlip lampu sorot panggung serta sound musik yang cukup keras sebagai background suasananya kala itu. Xiao menutup matanya, menunggu sang penyanyi membawa lagu pertama yang akan dinyanyikan. Sorak sorai penggemar dalam lautan manusia sudah menggelegar, sebagian sudah menyiapkan ponsel masing-masing untuk merekam performa sang artis, sebagian lagi menikmati acara dengan orang terkasih, ataupun orang tersayang.

Have I ever told you; I want you to the bone

Ketika lagu pertama dinyanyikan, Xiao merasakan presensi seseorang disebelahnya. Ia kemudian membuka mata. “Hey, do you want some?” tanya orang disebelahnya.

It’s Aether.

Well, siapa yang tidak expect dengan adanya Aether disini, atau jangan-jangan…

Thanks,” kata Xiao sambil mengambil sekaleng susu pada tangan Aether. Yah, sekali lagi siapa sih yang nggak nyangka? Jantungnya sekarang bekerja empat kali lebih cepat dari biasanya dan telinganya sudah pasti memerah.

I want you to the bone, I want you to: Take me home, I'm falling, love me long, I'm rolling

Xiao menoleh kearah Aether, ia memakai t-shirt kuning dengan tulisan ‘CREW’ di punggungnya dengan jeans selutut dan sepatu converse merah. Surai emasnya terkepang rapih dia sampirkan kesamping. “Xiao, lo mau lebih deket nggak? Gue mau ngerekam dikit, buat update. Hehe,” cengirnya.

“Tapi Aether, gue lagi nunggu seseorang,” jawab Xiao agak sedikit sendu karena menolak permintaan dari uhm, crush-nya. Aether mendengarnya cemberut, kemudian tanpa aba-aba ia menarik lengan Xiao sampai dia dapat berbisik di telinga Xiao. “Gue sendernya, gue Langit.”

Kata-kata itu cukup mengejutkan Xiao, jujur. Ia memegang telinganya yang sekarang panas akibat Aether. Xiao bergeming. Pikirannya kacau akibat: (1) Sendernya atau Langit selama ini adalah Aether; (2) Artinya, selama ini dia dan Aether...?

Disaat Xiao (masih) belum bisa memproses kata-kata Aether tadi, Aether menghela napasnya sejenak, “Well, kaget ya? Maaf gue baru bisa berani confess sekarang,” ia meneguk kaleng susu di tangannya. “Then, will you—”

Go out with me?”

Sekarang, giliran Aether yang terdiam mendengarnya. Dilihatnya manik amber milik Xiao tertuju padanya. Mulutnya mengangga, ia tidak bisa merespon apa yang dikatakan Xiao. Serius deh, Aether benar-benar tidak menyangka kalau Xiao—um, confessing his feelings too?

Dengan tangan bergetar, ia menggengam tangan Xiao dengan muka yang sangat merah, awkward—menahan teriakan di dalam pikirannya yang sudah seperti kapal pecah, kemudian dengan pedenya menarik tangan Xiao, mengajaknya mendekat kearah panggung venue.Let’s go?

Oh, it’s a yes.

Mind too for sure, I'm already yours, walk you down, I'm all in. And hold you tight, you calling, I'll take control, your body, and soul. Mind too for sure, I'm already yours.

Xiao tidak bisa tidak tersenyum ketika diseret paksa oleh Aether. Sebab, ia tak lagi bingung akan perasaannya, tidak akan ada lagi perasaan mengganjal ataupun bercabang yang sering ia rasakan sebelum malam ini.

Rasanya malam ini akan menjadi salah satu malam yang tidak ingin ia lupa, tentangnya, dan tentang Aether.

And for the nth time, Xiao was enchanted to meet Aether.


© sha — @captainseijo 2021

Semua berawal dari satu kalimat tarikan napas—confession, begitu orang-orang menyebutnya. Sederhana, tanpa setangkai bunga mawar ataupun buket cokelat yang dipersembahkan untuk sang terkasih. Hanya mereka berdua, pulang sekolah, disaat Aether sedang piket kelas, dengan bangku dan meja kelas dua belas sebagai saksi bisunya.

“Kak Aether, mau nggak jadi pacar gue?”

“Syo! Masa Lumi bilang aku bulol banget sama kamu.”

Syo, aku dapet kampus impianku di Natlan! guess kita harus LDR?

“Syo, maaf aku capek banget kuliah, rasanya pegel banget, kamu nggak akan ngerti.”

“Gimana ya rasanya punya pacar yang seumuran? Coba kita seumuran ya, kayaknya semuanya bisa lebih mudah.”

“Maaf, Syo, aku agak gimana gitu kalo bilang aku pacaran sama anak SMA walaupun kamu udah punya KTP.”

“Syo, sorry kayaknya kita nggak bisa lanjut lagi—”


Kata-kata menyakitkan itu tetap tergiang di dalam kepalanya walau sudah lewat lima tahun lamanya. Keputusan sepihak dari telefon malam itu, masih membuatnya linglung jika dipikirkan kembali. Ia tidak ingat mengapa hubungan mereka bisa serenggang ini padahal sebelum LDR, semua terasa baik-baik saja.

Natlan as cold as always. Xiao meniupkan tangannya, mencari kehangatan diantara dinginnya udara siang itu. Kakinya kemudian membawanya ke depan kafe yang akan menjadi tempat pertemuannya setelah lima tahun berpisah dengan Aether. Ia membuka pintu kafe yang disusul oleh suara kerincing bel. Manik amber-nya melirik mencari sosok yang ia kenal, sedang duduk membelakanginya pada pojok kafe. Xiao pun menghampirinya.

“Aether, udah nunggu lama?”

Bukan salahnya jika ia ingin memeluk pria di depannya. Lima tahun berlalu Aether terlihat seperti... zombie berjalan. Mata sembab, tubuh ramping yang dulu sering ia peluk semakin mengurus, terlihat dari sweater oversize yang ia kenakan sekarang hanya membuatnya semakin tenggelam saja.

Xiao ingin bertanya sebab, tetapi ia urungkan.

“Belum, gue baru sampe, abis dari rumah temen,” jawab Aether, ia menggigit bibirnya.

Bohong.

Xiao masih tahu kebiasan Aether disaat gelisah. Mengabaikan itu, ia mencari topik yang ia lewati selama lima tahun dengan Aether. Membicarakan tentang kuliah dimana sekarang? atau sekarang kerja dimana?

Xiao rindu, tentu saja. Walaupun Aether didepannya tidak seterang dahulu.

“Jadi Xiao,” Aether menghela napasnya, “I'm sorry.

Xiao diam, menunggu si pirang memulai ceritanya. “Lima tahun yang lalu, gue kacau. Entahlah sepertinya pressure dari lingkungan yang jauh dari Lumine dan kamu. Hingga suatu hari datanglah seseorang, menawari gue sesuatu hal yang nggak gue punya, attention. Awalnya gue nolak, gue nggak mau cheating, sampai-sampai—” ia terisak dalam ceritanya.

“Sampai lo mutusin gue sepihak di telfon?” tanya Xiao, Aether mengangguk.

Xiao kemudian berdiri di hadapan Aether, membungkuk dan membisik. “Hey, do you want to talk in private?” Aether mendongak dengan mata yang beralirkan air mata, kemudian matanya menerawang ke sekitarnya. Hebat, dia sekarang menjadi tontonan pengunjung kafe itu.

Aether mengangguk, tangan Xiao mengangkat melihat responnya. “May I?” tawarnya yang direspon dengan Aether mengenggam tangan Xiao, erat. Bahkan ketika sudah lima tahun berpisah, Xiao tetap hangat kepada dirinya.


Xiao hanya diam melihatnya terisak di taksi tadi. Ataupun dia hanya mengusap kepala emasnya yang menyender padanya saat ia tidak bisa mengontrol emosinya. Lima tahun, adalah waktu yang lama untuknya menyesali semua perbuatannya.

Sorry, jaket lo jadi ada ingus gue,” kata Aether, ketika sudah sampai di Hotel tempat Xiao bermalam hari ini. Xiao duduk di tepi tempat tidur, tangannya ia tumpu kepada kening kepalanya, ia terlihat emosi sekarang.

Tarik napas, hembuskan. “Kenapa lo nggak bilang Lumine atau gue? Gue berasa jadi pacar nggak berguna disaat lo lagi kena masalah,” ujarnya, tangannya ia kepal di sisi pahanya.

“A... Aku takut, Xiao! dia ngancem dengan embel-embel aku nggak akan lulus kuliah dan nggak dapet pekerjaan yang aku impikan!” sentaknya, air mata yang sempat berhenti tadi kemudian mengalir lagi. “Aku nggak mau ganggu kamu yang sibuk ujian masuk universitas dan Lumine yang sebentar lagi lulus... aku... ngga tahu harus berbuat apa.”

Aether, kamu anggep apa aku dahulu?

Hanya ada isak tangis yang terdengar dalam kamar hotel Xiao, “Maaf, for keeping you a like secret.

Xiao menggeram, sejujurnya ia tidak ingin melihat Aether menangis seperti ini, menyedihkan. “Aether, inget kita berdua disini mau memperbaiki, bukan sebaliknya.”

“Aku capek Xiao, rasanya susah keluar dari toxic relationship, apalagi dengan dia yang mengekang dan sering kasar... aku nggak kuat,” akunya, tangannya ia naikkan sampai memperlihatkan lebam ungu di kedua lengannya. “Aku bersyukur kamu hubungin aku lagi, sampai akhirnya aku punya alasan buat mengakhiri semua ini sama dia.”

Jadi ini alasannya kenapa Aether terlihat kacau tadi.

Xiao berdiri dari kasurnya, mendekat ke arah Aether yang masih terisak. Hatinya seperti tercubit melihat Aether terus-terusan menangis. Ia kemudian melingkarkan tangannya, mendekap ke tubuh ringkih Aether.

Want me to save you?” tanya Xiao disela pelukannya.

And would you run away with me?”

Yes, Aether.


© sha — @captainseijo

Latihan paskibra kali ini memang melelahkan, tetapi bagaimanapun juga Xiao dan rekan-rekannya harus bekerja ekstra demi menampilkan kreasi paskibra terbaik untuk pensi SMA Teyvat yang diadakan sebentar lagi.

Xiao mengusap peluh yang terus tercucur pada kening kepalanya, mengingat pada kejadian tadi, entah mengapa setelah absen bertahun-tahun, akhirnya ia mendapat kiriman message corner dari Sender Langit yang dahulu sering ia tunggu, hatinya terasa hangat.

Tunggu, tunggu. Hangat?

Xiao menggelengkan kepalanya pelan, melupakan tentang keanehan pada hatinya. 'Inget, ada Aether. Aneh banget lo deg-degan sama orang yang nggak ada wujudnya? Non sense.' batinnya sebelum meneguk kaleng susu yang diberi Langit.

“Langitnya udah gelap, kayaknya bakal hujan deh. Kayaknya latihan buat hari ini sampai disini dulu ya!” teriak Thoma pada sekumpulan adik kelasnya yang berkerumun di lapangan sekolah mereka. Xiao mengekor mengikuti Thoma di belakangnya, kemudian mengucap sepatah dua kata terima kasih dan penutup kepada rekan-rekan dan adik kelasnya yang sudah mengikuti latihan sore ini.

Gemuruh langit dan gerimis pun turun membasahi tempat mereka berdiri dan mereka bubar begitu kata terima kasih sekaligus yel-yel disorakkan. “Xiao! Gue duluan, ya! Udah ditunggu sama Ayato nih bareng supirnya gue nggak enak,” kata Thoma sambil menepuk bahu Xiao pelan, Xiao mengangguk dan terdiam sebentar di koridor kelas melihat punggung Thoma yang buru-buru keluar menuju parkiran untuk menemui sang pacar. Sejenak ia melihatnya iri karena siapa sih yang nggak mau punya pacar yang mau nungguin lo selesai ekskul? Atau post-school date yang kelihatannya lebih seru.

Ia menghela napasnya sejenak, memegang hoodie abu-abu yang ia sampirkan di pinggir bahunya, November always rain. Hujan selalu berhasil membuatnya tenang dan khawatir. Khawatir akan peristiwa masa lalu dan sekaligus suara rintik hujan yang membuat hatinya tenang. Berjalan sedikit sampai dirinya sudah berada di gerbang lobby siswa, menghampiri hujan lebih dekat yang mengakibatkan sepatu dan seragam batiknya terkena percikan air.

Aw, ow, ow!

Gerutu pemuda di sebelahnya, seragam batiknya basah kuyup, dengan celana abu-abunya yang digulung sampai lutut—sambil menggantung sepatu hitamnya.

“Nunggu hujan reda ya?” katanya.

“Hm, as you can see,” jawab Xiao pelan sambil menengok ke arah lawan bicaranya yang terlihat sedang menyilangkan tangannya, tampak kedinginan sebab berlari menuju tempatnya.

Xiao melihatnya langsung melingkarkan hoodie abu-abunya ke leher pemuda di sampingnya. “Gue nggak tega liat lo kedinginan begini, Aether. Please take care of yourself first.”

Aether hanya diam diperlakukan seperti itu, bahkan sebaliknya—ia merasa hangat. “Eh, tapi hoodie lo nanti basah—“

“Nggak apa-apa.” selak Xiao. “Kalo lo sakit nanti OSIS-nya nggak ada yang ngurus,” tambahnya yang dijawab anggukan pelan lawan bicaranya.

Sorry Xiao, tapi gue bisa mendekat sama lo nggak, masih dingin soalnya,” kata Aether sambil tertawa pelan. Xiao mendengus mendengarnya.

“Oke then, we should get close like this,” Jawab Xiao sambil merangkul pundak Aether, mendekatkan tubuh mereka sampai-sampai bahu mereka bersentuhan.

Hanya ada suara gemericik air hujan, tetes demi tetes hingga percikan air menyebar membuat genangan, aroma petrichor hujan yang menguar, dan suara dua detak jantung yang disembunyikan dalam derasnya hujan.

Xiao tidak pernah tau kalau hujan bisa semanis ini. Dengan mengandalkan kata-kata sederhana, afeksi yang amat begitu minim, batik yang kian basah, dengan pundak yang menyatu dengan Aether.

Ah, raindrops, love, and sunshine.


© sha — @captainseijo 2021

Aether menenggelamkan kepalanya kepada buku di depannya. Ia tidak pernah menyukai kimia, apalagi harus berkutat dengan rumus-rumus pembentukan ion apalah itu—memikirkannya saja sudah membuatnya mual. Ia menghela napasnya sebentar, kemudian menyenderkan dirinya pada kursi di belakangnya. Hari ini, sang tutor, absen mengajarkannya karena ada hal penting yang harus ia urus bersama adiknya. Urusan petinggi, katanya sih.

“Maaf Aether, lain kali aja ya?” katanya sambil mengusap pucuk mahkota pemuda di depannya.

“Gue ada urusan buat ketemu sponsor bareng adek lo, Lumine,” tambahnya. Manik jingganya memohon kepada lawan bicaranya yang melihatnya dengan tatapan setengah kesal.

“Cyno! udah gue bilang berkali-kali, stop elus-elus rambut gue!” protes Aether sambil menyanggah tangan Cyno yang mengusapnya—membuat lawan bicaranya meringis pelan. “Yaudah, apa boleh buat. Emang lo ketos paling sibuk, heh,” candanya sambil mengambil beberapa buku di dalam tasnya, mempersiapkan apa yang harus ia pelajari hari ini.

Cyno, sang ketos, hanya memberikan sengiran khasnya, “Oke, gue cabut dulu ya.”

Dan disinilah dia. Di perpustakaan bersama buku-buku yang seratus persen dia tidak tahu isinya. Merasa bosan, akhirnya dia mengambil ponselnya di saku kanan seragamnya, men-scroll social media dengan malas sampai-sampai—

“Hai, gue boleh duduk disini nggak?” izinnya, sambil duduk di sebelah kursi di samping Aether, menyebabkan deritan kursi pelan yang mendistraksi pikirannya.

Matanya membelalak kaget. “Xiao?

Oh Archons, dirinya belum siap untuk semua kebetulan ini.

“Eh, tanpa gue izinin juga lo udah duduk disamping gue,”

Bego, bego, bego! Ngomong yang bener Aether bego, jangan ketus! Tarik napas, tarik napas, buang.

Sorry, kebiasaan. Ngomong-ngomong, lagi belajar buat ulangan kimia Bu Jean, ya?” Tanya Xiao di sebelahnya, ia memiringkan kepalanya, berusaha menangkap manik emas Aether yang kini melihat kebawah, menolak bertatap dengan sang pujaan hati.

Tarik napas, Aether. You got this. Sebelum janur kuning melengkung mari kita—

“Gue ganggu, ya?” tanyanya. Aether langsung menoleh ke arah Xiao, kaget. Bukan, bukan, bukan begitu! Argh, Aether, kenapa lo kacau banget sih?

“Tunggu! Nggak, nggak gitu. Iya gue lagi belajar buat ulangan Bu Jean, tapi tutor gue hari ini lagi absen. Jadinya gue ngadem aja di perpus sambil nunggu Lumine,” kata Aether, berusaha menjawab senormal mungkin, berdoa agar suara dag-dig-dug jantungnya tidak kedengaran oleh sang pemilik rambut raven di sampingnya.

Terdapat jeda kecil diantara mereka, “Gue bisa ngajarin lo sekarang, kalo lo mau sih,” tawarnya sambil membuka buku kimia di depan Aether, membolak-balik lembar buku halamannya. “Gue jago kimia, anyways.

YA MAU BANGET LAH? PAKE DITANYA SEGALA!

“Boleh,” jawab Aether. Sekali lagi, ia mencoba untuk bersikap senormal mungkin.

Xiao mendengus, kemudian tersenyum tipis. Oh My Archons, Aether benar-benar gila dibuatnya. “Kemaren materi terakhir tuh tentang Teori Asam-Basa...” ia mulai membuka halaman sesuai dengan judul materi yang ia sebutkan, kemudian mulai menjelaskan perlahan.

Jikalau mampu, rasanya Aether ingin menghentikan waktu.


© sha — @captainseijo 2021

a/n: write as lagi kenapa ya :(

—hidden track of my past: a prologue


Kosan kamu sepi ‘kan?’

Aether mengetik balasan singkat, kepalanya masih saja pusing akibat demam yang ia derita pagi tadi gara-gara drama kehujanan yang mengakibatkan dirinya harus ke kosan Xiao dan terpaksa meminjam kaus baseball kebesaran milik sang pujangga.

Ngomong-ngomong soal tadi malam, Aether masih memakai kaus yang sama, belum ia ganti—karena sengaja. Ia ingin menggoda Xiao yang sejak dari kemarin belum menangkap sinyal dari Aether bahwa Aether menginginkannya.

Membuka laci di nakas sebelah ranjangnya, mencari sekotak pil paracetamol, merobek bungkusnya, dan menelannya bersama air di atas meja kosannya. Aether merebahkan tubuhnya diatas kasur—meringkuk. Menyesap lekat-lekat aroma dari kaus baseball kebesaran milik Xiao.

Sudah terhitung beberapa bulan sejak mereka memutuskan untuk menjalin hubungan sebagai partner in sex, atau bisa dibilang friends with benefit—atau apalah itu, Aether tidak memusingkannya.

Tapi, semenjak dua minggu yang lalu, Xiao tidak pernah meminta dan Aether terlalu gengsi untuk menanyakannya.

Ponselnya berdering, tanda ada telepon masuk, dari Xiao. Aether berdiri dari ringkukannya, kemudian melirik ke arah cermin sebentar. Badannya masih saja terasa berat walau ia sudah menghabiskan dua pil paracetamol.

Berjalan sempoyongan, berusaha membuka pagar kosannya, kemudian yang dibukakan langsung buru-buru membantu Aether berdiri. “Kalau nggak bisa dipaksain, biar gue aja yang langsung ke kamar kamu,” keluhnya, tangannya menggotong tubuh Aether—mengangkat tubuh rampingnya dengan gaya bridal.

Aether meremas kaus putih yang Xiao kenakan, kepalanya bersandar pada lekukan pundak Xiao—favoritnya. Menghirup aroma bunga qingxin partner-nya, meresap semua tanpa sisa.


“empat puluh derajat celcius,” kata Xiao didepannya, tangannya kanannya mengangkat termometer dan tangan kirinya mengusap kening Aether yang terbakar, sampai-sampai pipinya memerah akibat afeksi yang ia terima.

“Kamu mau gue beliin bubur? atau mau buah?” tawarnya. Tangannya berpindah kearah crossbody bag yang ia kenakan, mengambil kompres yang tadi ia beli, membuka bungkusnya kemudian dengan hati-hati memasangkan ke kening partner yang sedang tidak berdaya diatas ranjang kamarnya.

“Aku mau kamu.”

Xiao diam sejenak. Netra ambernya menatap Aether dengan pandangan yang tidak bisa ia jabarkan, kemudian ia langsung berdiri dari kursinya, menarik napas dalam-dalam, berusaha membersihkan pikiran-pikirannya. “Gue beli bubur dulu seben—“

“Xiao,” tangan mungil Aether menarik ujung kaus Xiao, tanda tidak ingin ditinggalkan. Matanya yang semakin sayu karena demam, bibir mungilnya cemberut—merajuk. “Don’t go. I need yours inside me, hm?

Entah apa yang Aether pikirkan sekarang, ia beranjak berdiri dari kasurnya—menarik kerah kaus Xiao, mengunci bibir partner-nya kedalam ciuman yang tergesa-gesa, berantakan.

“Ssh, so impatient,” Xiao berbisik, dadanya berdebar, wajahnya memanas—entah karena demam Aether atau memang dia yang menginginkan juga.

“Mmhmm, Don’t go. Promise me?

Dengan semua kewarasan yang tersisa, ia mengusap mahkota emas kesayangannya, mencoba untuk bersikap normal, tidak ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan karena yang tersayang sedang demam—walau sekarang dadanya terasa terbakar. “I’m right here.”

I want to.”

If Aether wants to; Xiao wants it too.

Kiss me, make me moan your name, make me yours,” persetan dengan gengsinya, ia menginginkan Xiao sekarang.

Xiao tersenyum tipis menatap Aether. Menangkup pipi semerah tomat karena demamnya, Aether menutup matanya—menumbuhkan kesan nyaman. “Are you serious?

Yang ditanya mengangguk, kemudian tanpa menunggu lama, Aether melingkarkan kedua tangannya kepada pundak Xiao, kembali menautkan kedua bibir keduanya hingga berdecak. Xiao sampai menekan tengkuk Aether agar ciuman mereka semakin dalam.

Dan ketika pagutan keduanya terputus, meninggalkan benang-benang saliva diantara mereka, Xiao berbisik.

Ride me, Aeth.”


Aether melenguhkan tubuh mungilnya dalam dekapan partner tersayangnya. Menenggelamkan wajahnya pada dada telanjang pria didepannya. Mengingat kepada kegiatan mereka tadi malam—begitu bergairah.

Demamnya sudah hilang sekarang, berterima kasihlah kepada partner-nya yang membantunya. Yah, walaupun sekarang punggungnya terasa luar biasa pegal.

“Good morning.” sapa Xiao, dengan suara serak, mata yang masih setengah mengantuk—lagi-lagi favorit Aether. “How’s your back?” lanjutnya.

“Masih sakit sih, tapi it’s okay, udah biasa.”

Lelaki di depannya hanya tersenyum, mengecup kening partner-nya. Tangannya bergerak memeluk tubuh mungil didepannya yang terbungkus selimut, mendekapnya erat.

Keduanya saling berbagi kehangatan, saling membagi debaran detak jantung yang berdetak berirama tanpa memikirkan lebih tentang perasaan-perasaan yang tidak dapat diutarakan.

Karena sebatas ini sudah cukup, ‘kan?


here's the new prologue for my upcoming AU! buat debutnya ngga tau kapan sih heheh ;)

© sha — @captainseijo 2021

Sabtu siang itu, terlihat Aether sedang duduk di kursi teras rumahnya, kakinya menyilang, dengan tangan yang terangkat memperlihatkan jam tangan di pergelangan tangannya, menunjukkan pukul satu. Dia menghela napasnya, berusaha mengabaikan kekesalannya kepada sahabat sejati sekaribnya—Venti, yang dikenal sebagai orang terngaret nomor satu dalam hidup Aether. Sebenarnya, mereka janjian untuk pergi ke Mekdi jam dua belas siang, tetapi sekali lagi ini Venti, ia pasti baru mandi jam dua belas.

Sambil menunggu Venti datang, ia mengambil handphone-nya di saku kanan bajunya. Membuka twitter, kemudian jemarinya mencari username pujaan hatinya—Xiao. Dia terdiam sebentar, kemudian tanpa sadar ia membaca pesan-pesan yang ia kirimkan tadi malam kepada Xiao memakai akun private-nya. Pikirannya melayang ke memori-memori saat sekolah menegah pertama kelas tujuh dulu, dimana dia mengalami lovestruck saat upacara bendera hari Senin.

Awalnya, sama seperti murid lainnya yang membenci upacara bendera dan hari Senin, seperti biasa berbaris sesuai kelas, kening penuh dengan peluh dan kaki yang hampir pegal karena terlalu lama berdiri. Tapi tidak lagi setelah Aether melihat seseorang berambut hijau kehitaman, lengkap dengan seragam putih khas pengibar bendera yang kala itu menangkap hatinya. Seketika peluh di keningnya membeku, pegal di kakinya menghilang, dan dadanya berdebar.

Sejak kejadian itu, hari Senin adalah hari yang tidak ingin Aether lewati.

“Aether!” suara klakson motor dibunyikan, pasti Venti. Aether berdiri, membuka pagar rumahnya—menghampiri Venti dengan senyum sumringah menyebalkannya. Ia memukul pelan punggung sahabatnya itu sebelum naik ke jok belakang motor vespa biru kesayangannya. “Sori nih, tadi gue nyuci si cantik dulu. Yaudah yuk, let’s go!


“Lo cerita ke Xiao kalo gue hampir pipis di celana pas nonton horror di bioskop? Gila lo,” katanya sambil mencelupkan kentang goreng Mekdi ke es krim vanilla Aether. Aether mengangguk sambil tertawa melihat kelakuan aneh bin ajaib sahabatnya. “Iya, abisnya tingkah lo konyol banget, cocok jadi komedian,” balas Aether.

“Terus lo mau gimana lagi sama gebetan lo?” tanya Venti, mengeluarkan smirk andalannya, “Lo yakin mau jadi sender anonim terus?” tambahnya.

“Enak gini nggak sih? Jadi dia nggak harus tau gue itu Aether, gue takut dia kecewa, Ven.”

Venti menghela napasnya kesal, kedua tangannya terangkat menuju pipi Aether—mencubit kedua pipinya gemas. “Siapa sih yang nggak mau sama lo, Ther? Bener kata Lumi, lo kebanyakan mikir,” lelaki yang tercubit hanya mendengus kesal. Netra emasnya kemudian melirik kearah luar pintu kaca Mekdi, menangkap seseorang yang tidak asing baginya.

Tidak jauh dari kursi Aether-Venti, pintu Mekdi terbuka. Memperlihatkan tiga sejoli yang membuat Aether terdiam seribu bahasa. Venti didepannya sampai-sampai menengok ke belakang, penasaran. Kemudian tangan kanannya—pindah dari pipi Aether menjadi terangkat, melambai kearah sosok teman sekelasnya.

“Hu Tao!”

Perempuan berambut hitam yang dikuncir dua itu menoleh, menghampiri meja mereka berdua. Bertukar gerakan salam tangan ala anak sosial dengan Venti, kemudian netra krimson milik gadis itu berpindah kearah Aether. Melihatnya terang-terangan dari atas hingga bawah, seakan memikirkan sesuatu. Tangan mungilnya terangkat, “Gue Hu Tao, temen sekelasnya Venti.”

Aether mengangkat tangannya kikuk, memberi salam kepada gadis didepannya. “Aether dari MIPA 6,” tangan kirinya memegang tengkuknya—ia merinding, entah gara-gara tatapan Hu Tao atau Xiao yang sedang berdiri, menunggu pesanannya di depan kasir Mekdi bersama Kazuha.

“Tao! Sini dulu!” panggil lelaki berambut platinum blonde dengan highlight merah di samping kanannya. Bersama dengan Xiao, mereka berdua menunggu Hu Tao untuk segera menghampirinya.

“Eh, Venti, Aether, gue kesana dulu ya, sampai jumpa lain waktu!” kata gadis itu sebelum membungkuk sebentar, kemudian berlari kecil menuju kedua temannya.

Wow.

Aether benar-benar tidak mengira kalau hari ini merupakan salah satu hari terberuntungnya.

“Jodoh banget diomongin bentar orangnya udah nongol.” ledek Venti, sebelum meneguk sisa kolanya sampai tidak tersisa.

“Ven, pulang yuk. Gue lemes banget ini. Jantung gue udah ngga beraturan detaknya.”

Selalu begitu.

Aether yang selalu menjadi pengecut ketika berhadapan dengan Xiao.

Mungkin di suatu hari nanti ia akan memberanikan dirinya untuk menyatakan perasaannya. Bukan bersembunyi atas nama Sender maupun Langit—melainkan sebagai Aether.


© sha — @captainseijo 2021