Demam
—hidden track of my past: a prologue
‘Kosan kamu sepi ‘kan?’
Aether mengetik balasan singkat, kepalanya masih saja pusing akibat demam yang ia derita pagi tadi gara-gara drama kehujanan yang mengakibatkan dirinya harus ke kosan Xiao dan terpaksa meminjam kaus baseball kebesaran milik sang pujangga.
Ngomong-ngomong soal tadi malam, Aether masih memakai kaus yang sama, belum ia ganti—karena sengaja. Ia ingin menggoda Xiao yang sejak dari kemarin belum menangkap sinyal dari Aether bahwa Aether menginginkannya.
Membuka laci di nakas sebelah ranjangnya, mencari sekotak pil paracetamol, merobek bungkusnya, dan menelannya bersama air di atas meja kosannya. Aether merebahkan tubuhnya diatas kasur—meringkuk. Menyesap lekat-lekat aroma dari kaus baseball kebesaran milik Xiao.
Sudah terhitung beberapa bulan sejak mereka memutuskan untuk menjalin hubungan sebagai partner in sex, atau bisa dibilang friends with benefit—atau apalah itu, Aether tidak memusingkannya.
Tapi, semenjak dua minggu yang lalu, Xiao tidak pernah meminta dan Aether terlalu gengsi untuk menanyakannya.
Ponselnya berdering, tanda ada telepon masuk, dari Xiao. Aether berdiri dari ringkukannya, kemudian melirik ke arah cermin sebentar. Badannya masih saja terasa berat walau ia sudah menghabiskan dua pil paracetamol.
Berjalan sempoyongan, berusaha membuka pagar kosannya, kemudian yang dibukakan langsung buru-buru membantu Aether berdiri. “Kalau nggak bisa dipaksain, biar gue aja yang langsung ke kamar kamu,” keluhnya, tangannya menggotong tubuh Aether—mengangkat tubuh rampingnya dengan gaya bridal.
Aether meremas kaus putih yang Xiao kenakan, kepalanya bersandar pada lekukan pundak Xiao—favoritnya. Menghirup aroma bunga qingxin partner-nya, meresap semua tanpa sisa.
“empat puluh derajat celcius,” kata Xiao didepannya, tangannya kanannya mengangkat termometer dan tangan kirinya mengusap kening Aether yang terbakar, sampai-sampai pipinya memerah akibat afeksi yang ia terima.
“Kamu mau gue beliin bubur? atau mau buah?” tawarnya. Tangannya berpindah kearah crossbody bag yang ia kenakan, mengambil kompres yang tadi ia beli, membuka bungkusnya kemudian dengan hati-hati memasangkan ke kening partner yang sedang tidak berdaya diatas ranjang kamarnya.
“Aku mau kamu.”
Xiao diam sejenak. Netra ambernya menatap Aether dengan pandangan yang tidak bisa ia jabarkan, kemudian ia langsung berdiri dari kursinya, menarik napas dalam-dalam, berusaha membersihkan pikiran-pikirannya. “Gue beli bubur dulu seben—“
“Xiao,” tangan mungil Aether menarik ujung kaus Xiao, tanda tidak ingin ditinggalkan. Matanya yang semakin sayu karena demam, bibir mungilnya cemberut—merajuk. “Don’t go. I need yours inside me, hm?”
Entah apa yang Aether pikirkan sekarang, ia beranjak berdiri dari kasurnya—menarik kerah kaus Xiao, mengunci bibir partner-nya kedalam ciuman yang tergesa-gesa, berantakan.
“Ssh, so impatient,” Xiao berbisik, dadanya berdebar, wajahnya memanas—entah karena demam Aether atau memang dia yang menginginkan juga.
“Mmhmm, Don’t go. Promise me?”
Dengan semua kewarasan yang tersisa, ia mengusap mahkota emas kesayangannya, mencoba untuk bersikap normal, tidak ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan karena yang tersayang sedang demam—walau sekarang dadanya terasa terbakar. “I’m right here.”
“I want to.”
If Aether wants to; Xiao wants it too.
“Kiss me, make me moan your name, make me yours,” persetan dengan gengsinya, ia menginginkan Xiao sekarang.
Xiao tersenyum tipis menatap Aether. Menangkup pipi semerah tomat karena demamnya, Aether menutup matanya—menumbuhkan kesan nyaman. “Are you serious?”
Yang ditanya mengangguk, kemudian tanpa menunggu lama, Aether melingkarkan kedua tangannya kepada pundak Xiao, kembali menautkan kedua bibir keduanya hingga berdecak. Xiao sampai menekan tengkuk Aether agar ciuman mereka semakin dalam.
Dan ketika pagutan keduanya terputus, meninggalkan benang-benang saliva diantara mereka, Xiao berbisik.
“Ride me, Aeth.”
Aether melenguhkan tubuh mungilnya dalam dekapan partner tersayangnya. Menenggelamkan wajahnya pada dada telanjang pria didepannya. Mengingat kepada kegiatan mereka tadi malam—begitu bergairah.
Demamnya sudah hilang sekarang, berterima kasihlah kepada partner-nya yang membantunya. Yah, walaupun sekarang punggungnya terasa luar biasa pegal.
“Good morning.” sapa Xiao, dengan suara serak, mata yang masih setengah mengantuk—lagi-lagi favorit Aether. “How’s your back?” lanjutnya.
“Masih sakit sih, tapi it’s okay, udah biasa.”
Lelaki di depannya hanya tersenyum, mengecup kening partner-nya. Tangannya bergerak memeluk tubuh mungil didepannya yang terbungkus selimut, mendekapnya erat.
Keduanya saling berbagi kehangatan, saling membagi debaran detak jantung yang berdetak berirama tanpa memikirkan lebih tentang perasaan-perasaan yang tidak dapat diutarakan.
Karena sebatas ini sudah cukup, ‘kan?
here's the new prologue for my upcoming AU! buat debutnya ngga tau kapan sih heheh ;)
© sha — @captainseijo 2021