stranger things happened
tags: 600 words.
Xiao, kalau kata Papa, kamu lanjut les aja, jangan sampe pikiran kamu ke-distract gara-gara Papa.”
Kata-kata Kak Ganyu menghantui pikirannya. Bagaimana tidak panik? Pagi ini Ayahnya tiba-tiba pingsan saat dirinya tengah memasak sarapan. Buru-buru dengan kecepatan secepat kilat, ia menelpon rumah sakit langganannya dan Kak Ganyu. Beruntunglah pagi itu adalah hari minggu—yang artinya tidak ada gangguan sekolah maupun dari tempat les.
Xiao menyenderkan punggungnya pada bangku di luar kamar ayahnya dirawat. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari slingbag-nya. Sebuah dompet hitam-merah bergambar spiderman ia bolak-balikkan. Mata ambernya menangkap foto pada sisi dompetnya. Alisnya mengernyit.
Foto Aether.
“Xiao,” suara Yun Jin yang duduk di sebelahnya menyadarkan Xiao yang tengah terdiam. Xiao menoleh, langsung menyelipkan dompet itu pada tasnya, cepat. “Kenapa?” tanyanya panik.
“Gue yakin ini bakal jadi awal dari perjalanan kita menjadi tumbuh dewasa, untuk semua keputusan lo kedepannya, gue harap lo nggak bakal menyesali semua keputusan yang lo ambil.”
“Maksud lo?”
Yun Jin terdiam sejenak. “Keputusan buat nggak ngambil beasiswa yang Papa gue tawarin buat lo.”
Xiao meremas dompet di tangan kirinya, kemudian iris ambernya menoleh—menolak melihat Yun Jin. “Gue nggak bisa ninggalin bokap gue, Yun Jin. Walaupun ada Kak Ganyu sama Qiqi. Rasanya berdosa kalo gue tinggal… Walaupun beasiswa dari bokap lo itu impian gue.”
“...”
Hening menyelimuti Minggu sore di lorong rumah sakit. Sampai-sampai jam dinding di seberang Xiao terdengar di kedua telinganya. Perihal beasiswa Universitas Teknik yang ia idamkan berkat ayah Yun Jin—yang merupakan kawan lama ayahnya. Namun, berat hati ia tidak mengambilnya, sebab yang menjadi masalah karena ia akan berpisah dengan keluarganya. Ia tidak akan meninggalkan ayahnya yang sedang sakit di kota ini, setidaknya sampai kondisinya pulih.
“Terus, sekarang lo mau nungguin Papa lo disini?” tanya Yun Jin memecahkan suasana yang hening. “Kata Kak Ganyu, Papa lo udah mendingan, terus lo disuruh pulang,” tambahnya.
Xiao meremas (lagi) dompet Aether yang ia genggam. “Nggak tahu, maybe gue mau keluar jalan-jalan sebentar.”
Yun Jin memberikan tatapan menyelidik, kemudian mata merah menyalanya melirik ke arah dompet yang Xiao pegang dengan jenaka. “Ke rumah Aether?”
“Kok tiba-tiba Aether?!” tanyanya panik, telinganya memerah.
“Gue kira lo mau ngembaliin dompetnya Aether.”
“Hari Selasa aja, sekalian Inten.”
“Lebih cepat lebih baik, tau! Coba bayangin kalo Aether luntang-luntung nyariin dompetnya?” bujuk Yun Jin seraya berdiri menarik Xiao dari tempat duduknya, kemudian mendorong Xiao keluar rumah sakit, menuju tempat dimana mobilnya terparkir. “Lo di-banned dari rumah sakit Papa gue!”
Xiao mendengus. Dasar orang kaya.
Beruntung didalam dompet Aether terdapat alamatnya lengkap dengan side note: ‘ambil aja uangnya gapapa, tapi foto sama KTP-nya tolong dikembalikan!’
Sehingga Xiao tidak perlu repot untuk menanyakan alamat Aether via whatsapp. Ia memelankan dan kemudian memakirkan mobilnya pada jalanan kosong didepan minimarket dekat rumah Aether. Berpikir untuk sekedar membeli sekaleng minuman berkarbonasi.
Sedetik sebelum kakinya menuju minimarket, Ia membeku.
Sebab, jelas-jelas Aether berada di depannya, rambut emasnya yang biasanya dikepang rapih, kali ini digerai sehingga terlihat sangat panjang. Aether berjongkok dengan menggunakan sweater kebesaran bewarna ungu dan celana hitam pendek selutut. Didepannya, terlihat ia sedang... memberi makan kucing-kucing liar?
Merasa tidak nyaman sebab merasa diperhatikan, Aether menoleh ke belakangnya. Ia membelalak kaget dan bergegas berdiri—tidak lupa Aether menepok-nepok kedua tangannya di sisi pinggangnya. Dengan senyum selebar dan semanis kue brownies buatan Mama Albedo, Aether menepuk bahunya.
“Hai, Xiao!”
Xiao tidak mempercayai apa yang ia rasakan dengan tubuhnya kali ini, tetapi dadanya berdebar sangat kencang, darahnya berdesir, tubuhnnya terasa tersengat listrik, pikirannya terdistraksi, Gosh.
Menggunakan tenaga yang tersisa, Xiao berdehem pelan. “Dompet lo kemaren nginep di tas gue.”
Mulut Aether menganga, dengan kikuk ia mengambil dompet merah-hitam spiderman-nya pada tangan Xiao. “Thanks! Gue tadinya mau nge-chat lo, nanyain, tapi nggak jadi.”
“Oke, gue cabut dulu berarti ya.”
“Heh? Cepet banget? Nggak sekalian mampir?” tanya Aether sembari memiringkan kepalanya.
Xiao hanya menyeringai, tangannya melambai. “See you lusa, di Inten.”
Dan begitupula adanya, Xiao buru-buru seperti sedikit berlari menuju mobilnya, tidak lupa membuka pintunya, dan langsung menenggelamkan kepalanya pada kemudi mobil. Menyembunyikan mukanya yang amat sangat-sangat-sangat memerah.
So, it started with a simple ‘hello’, Turning into romantic visions.
© sha — @captainseijo 2021