sorascent

Aether berjalan pelan kearah parkiran Wangshuu Hotel, surai emasnya menengok ke kanan dan ke kiri, mencari mobil SUV hitam milik Xiao yang terparkir sesuai dengan pesan yang dikirimkan Xiao tadi. Benar saja, terlihat Xiao dengan jaket hitam yang ia pakai selama konser tadi. Tanpa menunggu lama, Aether langsung bergegas menuju Xiao yang melambaikan tangan kearahnya. Ia membukakan pintu untuk Aether, mempersilahkannya masuk.

Kemudian setelah keduanya berada di dalam mobil, yang terjadi hanyalah keheningan. Entah kenapa dari mereka berdua tidak ada yang ingin bersuara, dua-duanya larut dalam pemikiran mereka masing-masing. “Ke Stasiun?” tanya Xiao sambil menyalakan mobilnya, menuju pintu keluar Wangshuu Hotel.

Aether terlalu larut dalam pemikirannya. Kata-kata Xiao pra-konser membuatnya berpikir lebih, apalagi saat berada dalam konser. Kepalanya berpikir; Xiao dan panggung. Sayang jika dipisahkan, kepalanya berputar kata tapi, tapi, tapi. Tangannya mengepal dan ia menutup matanya, berusaha menahan perasaannya yang meledak-ledak.

He wants to, but he's scared.

“Ae? Lo gapapa?” tanya Xiao, ia mengenggam tangan Aether yang mengepal kuat. Aether membuka matanya. Didepannya terlihat lampu merah, ia menoleh ke arah Xiao sebelum akhirnya ia menghela napas. “Ah, maaf. Aku terlalu memikirkan bagaimana sebaiknya hubungan kita selanjutnya.”

Mata Xiao terbelalak, ia menatap Aether kemudian mengalihkannya—karena lampu sudah berganti menjadi hijau. Tangannya berkeringat, Nampak tidak percaya bahwa Aether lah yang duluan menanyakan kejelasan hubungan mereka, karena jika sudah sejauh ini, dengan perasaan yang sama—bahkan tumbuh besar, akan sayang sekali jika tidak memiliki status, bukan?

“Gue pun bertanya-tanya. Sebenernya kita apa, Aether?” tanya Xiao sambil mengemudi, netra ambernya sesekali melirik ke arah lawan bicaranya yang dijawab gelengan kepala. Tidak ingin memikirkan itu, jemari Aether bergerak menuju dashboard, iseng memencet tombol radio.

I think I'm falling, I'm falling for you

On this night, and in this light

Hanya ada musik The 1975 berjudul fallingforyou ditengah keheningan mereka, bersama kemerlap langit malam, dengan pikiran yang beradu ditambah dengan debaran jantung keduanya yang kian bertambah.


11.00 PM, Stasiun Liyue.

“Aether,” Xiao menghela napasnya, “Kita… apa?” tanyanya sekali lagi. Xiao bersandar pada kursi mobilnya, ia sendiri bingung, Aether tidak seperti ini saat ia jemput tadi pagi. Aether mengigit bibirnya, ia menyisipkan anak rambutnya kearah belakang telinganya. “Aku… udah tau kamu mau bilang itu kan ke aku? Tapi aku ragu. Setelah lihat bahagianya kamu berada diatas panggung, nggak semestinya aku menginterupsi.”

Oh.

Oh?

“Aether,” kali ini Xiao menoleh ke arah sampingnya, yang mau tak mau Aether juga menoleh ke lawan bicaranya. “Kalo itu yang buat kamu ragu, gue rasa itu bisa dibicarain baik-baik,” lanjutnya. “Don’t you trust me?

“Mmhmm, I do.

So, what makes you hesitate?

“Hari pertama jadian, udah LDR. Nggak suka jauh-jauh,” ia mendengus. Tangannya menutup mulutnya, mencoba memblokir senyumnya, “Anyways, aku emang ragu, tapi kalo kata kamu semuanya bisa dibicarain baik-baik, aku jadi tenang. Well? What can I do while dating superstar?

Xiao mendengus mendengarnya, dan ketika kedua jemari Xiao bergerak menuju pipi Aether—merengkuhnya, Aether diam. Sampai-sampai wajah mereka yang makin berdekatan hingga dapat menyentuh pucuk hidung satu sama lain, Xiao berbisik, “Just stay here and being my warmest home to me.

Aether tidak tahan ingin tersenyum mendengarnya, kemudian ia melingkarkan tangannya ke leher Xiao, “I want it vice-versa,” dan mendekatkan wajahnya, mendaratkan ciuman di bibir Xiao—his boyfriend.

Begitu lembut, hangat, dan manis.

“Harusnya aku yang cium kamu duluan,” protesnya. Wajahnya mengerut, bibirnya cemberut, tangannya pindah dari pipi menuju lengan Aether. ‘Manis sekali’ pikir Aether. “Jangan lama-lama, keretaku berangkat jam dua belas malam.”

Xiao mengecek jam tangan di tangan kirinya, “Masih ada empat puluh lima menit lagi. I think fifteen minutes cukup buat bales kamu,” tantangnya. Ia mulai mendekatkan wajahnya dan mendaratkan banyak kecupan di wajah Aether. “Xiao—ugh! I think I actually hate you now.

“Ah, I’m going to pretend I didn’t hear that,” ucapnya sambil mendekap Aether. Lelaki dipelukannya hanya mendengus kesal, Xiao pun terkekeh.

Didalam dekapan, dibawah gelapnya malam, mereka berdua paham.

Because you’re my warmest home to me.

Tempatnya berpulang,

Always.

-fin.


note: see you in bonus chapter!!

© sha — @captainseijo 2021

Susuripris,” kata Xiao kepada lelaki bermahkota emas saat ia duduk di sebelah kursi kemudi—yang diisi oleh Xiao. Tangannya menggenggam sebuah buket bunga cantik yang ia beli terlebih dahulu sebelum menjemput Aether. Ia terdiam sejenak, netra emasnya melihat kearah buket bunga sebelum melihat kearah netra amber Xiao. “Thanks?” responnya menerima, ia bersenandung kecil dan menghirup aroma bunga yang ia terima dalam-dalam, ‘cantik,’ gumamnya.

“Ae, are you ready to get lost in Liyue with me?” tanya Xiao. Sebenarnya, ia tidak ingin menginterupsi kegiatan Aether disampingnya yang melehmahkan hatinya. Tetapi, apa boleh buat, mereka punya banyak rencana yang akan mereka habiskan berdua sebelum gig—konser promosi album Xiao.

Let’s go! Kita ke Wanmin? Eh bener Wanmin kan? Restaurant yang kamu bilang terenak se-Liyue?” kata Aether yang dijawab anggukan kepala oleh lelaki di sampingnya dan mulai mengendarai keluar dari Stasiun Liyue. Aether memperbaiki posisi seat belt dan kemudian menyenderkan tubuhnya kedalam seat mobil SUV hitam Xiao, mencari posisi ternyamannya setelah berjam-jam duduk di kursi kereta yang membuat punggungnya pegal. “Kalau kamu ngantuk, bisa tidur dulu kok. Nanti gue bangunin kalo udah sampe Wanmin.”

Aether menoleh kearah Xiao. Wow. Baru kali ini dia melihat Xiao begitu menawan ketika sedang mengendarai mobil, sebelumnya ia hanya melihat Xiao mengendarai sepeda pinjaman ketika berada di Springvale. Rasanya seperti… mimpi. “Nggak mau, kalo aku ketiduran nanti waktu yang aku abisin sama kamu berkurang, Xiao di Liyue kan beda sama Xiao di Springvale.” Kata Aether, ia menggenggam seat belt-nya. Kemudian menoleh kearah depan, “So, Kamu bener-bener udah baikan sama Chongyun?” ia memulai konversasi.

Xiao menghela napasnya, ia mulai bercerita tentang pesan yang dikirimkan Chongyun yang berakhir dengan pertemuan mereka bertiga setelah kekacauan yang terjadi. Xiao masih menerima mereka sebagai teman kasualnya, tetapi ia masih membutuhkan waktu untuk kembali lagi seperti dulu. Ketika ia menceritakan hal itu, Xiao baru tersadar. Entah mengapa saat bertemu Chongyun dan Xingqiu kemarin ia tidak menemukan debaran-debaran ketika ia menyukai Chongyun dulu. Dia diam sejenak dan melihat ke arah kursi sebelahnya, terlihat Aether sedang tertidur dengan tangan melipat.

Xiao meminggirkan mobilnya sejenak, kemudian menurunkan sandaran jok Aether agar tidurnya lebih nyaman. Ia terdiam sebentar, melihat kearah Aether yang tertidur di dalam mobilnya. Jemari tangan Xiao menyentuh pucuk surai emas milik Aether, mengusapnya perlahan. Bahkan sedari tadi ia belum bisa menormalkan degup jantungnya ketika Aether datang ke Liyue. Aether benar-benar datang menuju Xiao. Memikirkan itu, degup jantungnya bertambah kencang, rasanya semua kupu-kupu sudah ingin meledak-ledak di dalam perutnya.

He’s yearning more.

I’m sorry Aether, I hope you don’t mind if I doing this,” kata Xiao sebelum ia mendekatkan wajahnya ke arah Aether, mengecup keningnya perlahan. Seperti pengecut, Ia langsung buru-buru menjauhkan wajahnya yang memerah dan menyandarkan punggungnya pada seat mobilnya, mulai mengendarai mobil SUV hitamnya menuju Wanmin Restaurant dengan semua kewarasannya yang tersisa.


© sha — @captainseijo 2021

Aether mengatur napasnya dan menepuk dadanya perlahan, berusaha untuk menormalkan degup jantungnya yang kian bertambah seiring waktu yang mereka habiskan bersama di hari terakhir ini. Setelah dirasa siap, ia kemudian mengetuk pintu kamar Xiao.

“Masuk, Ae,” sahutnya dari dalam.

Ia kemudian masuk, terlihat Xiao sedang membelakanginya dengan koper besar yang ia bawa ketika pertama kali menginjakkan kaki di Springvale. “Sibuk ya? Aku nggak ganggu kan?” tanya Aether sambil berjalan kearah kasur single milik kamar Xiao, dan duduk disisi kasurnya. Xiao menoleh kearah Aether, “Engga kok, Gue emang nunggu kamu, Ae.” katanya.

Aether memilin rambut panjang emasnya yang dikepang spesial oleh Lumine. Sebenarnya, ia tidak mengerti kenapa hari ini Lumine bersikeras untuk menata rambut Aether, dengan berbekal jepitan-jepitan gratis yang sering adik perempuanya dapat ketika melayani customer di toko kuenya. Alhasil, hari ini rambut Aether terlihat seperti gulali kuning dengan sprinkles warna-warni. “Jatuh tuh jepitanmu,” kata Xiao sambil membenarkan jepitan yang jatuh di sela rambutnya.

Archons!’ teriak Aether dalam hati. Karena kesal dengan jepitan-jepitan yang semakin lama makin jatuh, Aether melepaskan semua jepitan di rambutnya. “Lho, kok dilepas semua?” tanya Xiao bingung, jemarinya menuju kepangan yang disampirkan di bahu kanan Aether, memainkan ujung rambutnya. “Habis, aku nggak nyaman. Kalau pakai jepitan, rambutku cepat rontok,” jawab Aether sambil melihat Xiao yang berdiri di hadapannya.

Your hair is so soft,” gumam Xiao. Aether membelalakkan matanya mendengar itu, ia menatap Xiao dengan pandangan… yang tidak bisa ditebak. Xiao yang paham maksud Aether kemudian berdeham sejenak dan langsung duduk di sebelah Aether—sisi kasurnya.

Hening sejenak, sampai-sampai suara jangkrik terdengar dari luar kamar. Xiao menghela napasnya sejenak sebelum memulai percakapan, “Jadi, semua bermulai ketika gue suka sama sahabat gue sendiri, Chongyun.”

Tentang semua yang terjadi, tentang kenapa ia memilih Springvale.

Aether menoleh kearah Xiao yang duduk disampingnya. Xiao merengangkan kedua tangannya, kemudian kembali bercerita tentang semua yang Aether tidak ketahui. Mulai dari kehidupannya di Liyue bersama kedua sahabatnya—Xingqiu dan Chongyun. One-sided love-nya dengan sahabatnya sendiri yang ternyata sudah berkencan dengan sahabatnya yang lain secara diam-diam. Tentang kejadian pernyataan perasaan Xiao malam itu, sehabis konser solo musiknya. Tentang dirinya yang merasa dikhianati oleh kedua sahabatnya. Tentang kacaunya dirinya malam itu, sampai sampai Zhongli dan Hu Tao pusing dibuatnya. Tentangnya yang ingin rehat sejenak meninggalkan Liyue, menuju Mondstadt—Springvale, karena mendiang orang tuanya bertemu di kota ini.

The saddest thing about betrayal isn’t how you got betrayed, but by who,” ucapnya yang mengakhiri sesi bercerita malam itu. Aether bergumam, ia tampak berpikir sesuatu. “Jadi kemarin yang nelfon kamu itu Chongyun?” tanyanya yang dibalas anggukan dari lawan bicaranya. “Dia ngajak berdamai sih, tapi… gue masih mikir apa gue maafin aja ya? Rasanya terlalu childish untuk orang sebesar gue.”

I think… it’s okay buat memaafkan dan ngga memaafkan seseorang, itu pilihanmu. Hidup memang nggak selalu indah because it’s actually how life works,” kata Aether sambil menjatuhkan tubuhnya di kasur dibelakangnya yang diikuti dengan lawan bicaranya, Aether menghadapkan tubuhnya kearah Xiao sehingga mereka berbaring berhadapan. “Tapi Xiao, aku harap ada sesuatu di dalam hidup kamu yang yang ngebuat kamu bersyukur kalo kamu punya hidup yang seindah ini,” Aether menutup matanya sejenak dan menghela napasnya, “And you can tell me the reasons why your life becomes wonderful,” lanjutnya.

Xiao membelalakan matanya. ‘Oh Archons, the reasons why my life becomes wonderful it’s you, Aether.’ batinnya. Netra amber Xiao menatap netra emas milik Aether, jemari Xiao menyentuh pipi bulat sang empunya netra emas, mengusapnya perlahan.

Can I hug you, Aether?” tanyanya.

Tanpa ba-bi-bu, Aether merentangkan tangannya ke arah Xiao, memajukan tubuh rampingnya, mendekap, dan menenggelamkan wajahnya dilekukan leher Xiao. Lawan bicaranya tidak ingin kalah, ia memeluk erat tubuh Aether sebagaimana Aether memeluknya saat ini.

And Xiao found home between his arms.


© sha — @sorascent 2021

Xiao menerjapkan matanya.

Hari terakhir berada di Springvale terasa sedikit—berbeda. Apalagi ditambah dengan percakapannya semalam dengan Albedo perihal Aether. Bukannya ia tidak ingin mengingkari janjinya dengan Albedo… Tetapi ada hal yang kerap kali ia pikirkan ketika berhadapan langsung dengan Aether. Karena tidak ingin pusing memikirkan perihal itu, Xiao bangun dari kasurnya, menuju kenop pintu—membukanya, dan langsung turun ke lantai bawah. Terlihat dua sosok laki-laki sedang duduk membelakanginya di depan ruang keluarga, Venti dan Albedo.

“Ah, Xiao. Kalau mau cari Aether, dia lagi pergi sebentar sama Lumine. Family time dulu katanya,” sahut Venti sambil menoleh ke arah Xiao, dengan tangan yang sedang sibuk mengepangkan rambut Albedo. “Aha! Sudah selesai!” sahutnya lagi. Xiao mengernyitkan dahinya, sementara dua laki-laki didepannya berjalan kearahnya dengan santai. “Siap untuk surprise hari ini?” tanya Albedo. Venti, dengan senyum misteriusnya— seperti menyimpan sebuah rencana yang seratus persen menyebalkan. “Aku ingin keluar sebentar membeli sesuatu. Baik-baik dengan Albedo, ya.”

Dang!

Rasanya Venti sudah paham dengan percakapannya semalam dengan Albedo, dan Xiao berpikir Venti ingin membuatnya menjadi kacau.

“Ah, oke,” sahut Xiao dan anggukan kepala oleh Albedo. Merasa sudah disetujui oleh kedua belah pihak, Venti langsung menuju kenop pintu utama, meninggalkan Albedo dan Xiao dalam satu ruangan.

Awkward.

Berada di satu ruangan yang sama dengan orang yang paling ia hindari memang menyebalkan, akhirnya Xiao berjalan menuju dapur untuk mengambil sekotak susu dari dalam kulkas untuk menenangkan mood buruknya hari ini. Ia kemudian mengambil gelas dan menuangkan susu dan meminumnya. Matanya kerap kali melirik kearah Albedo yang sedang melihatnya, bersandar dekat sofa sambil melipat kedua tangannya dengan tatapan menyebalkan—menurut Xiao.

“Kenapa?” tanya Xiao, yang ikut melipat kedua tangannya juga.

“Aku heran, apa yang bagus didirimu sampai-sampai Aeth head over heels sama kamu,” jawabnya santai.

Orang ini! Memang menyebalkan sekali!

Xiao menghela napasnya, berusaha untuk tidak tersulut emosi lawan bicaranya. “Heh, kenapa gak lo tanyain ke adek tersayang lo itu?” tanyanya yang dijawab dengusan dari lawan bicaranya. Sampai-sampai Xiao gatal ingin meninju wajah Albedo—yang dihentikan oleh suara lonceng pintu utama dan diikuti oleh si duo kembar Lumine dan Aether.

“Aku pulang—Ah Xiao! Aku tadi bawa strawberry shortcake dari tokonya Lumi, kamu mau nyoba sedikit, nggak?” ajak Aether, menghampiri Xiao yang tadi sempat tersulut emosi karena lawan bicaranya.

Ah, too close. Aether terlalu terang hingga mencairkan mood buruknya, dan Xiao bersyukur akan hal itu.

“Mau,” jawab Xiao sambil menyelipkan anak rambut Aether ke belakang telinganya—yang direspon oleh dengusan si empunya rambut dan senyuman secerah matahari yang lagi-lagi Xiao tidak akan bosan melihatnya.


© sha — @sorascent 2021

Xiao melihat pantulan dirinya di dalam cermin. Melipat tangannya dan menghela napas, “terlalu berlebihan,” gumamnya. Kemudian ia mencari lagi baju yang cocok yang akan ia gunakan pada pottery private class bersama Aether. Matanya tertuju pada kaos hitam The 1975 kesayangannya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengganti kemeja hitam yang ia kenakan dengan kaos tadi.

Selesai mengganti, Xiao langsung turun ke lantai bawah untuk mengambil sekotak susu di kulkas dan langsung meneguknya. Ia berpikir sejenak, pikirannya berselancar kemana-mana akibat sebuah pesan singkat yang dikirim oleh Aether—sederhana, tetapi cukup membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Tidak bisa dipungkiri bahwa sejujurnya Aether adalah tipe idealnya.

Tetapi apakah secepat ini?

Ia mengingat tujuan awalnya melarikan diri ke Springvale untuk healing—dan melupakan, bukan mencari yang baru.

Xiao… belum siap menerima orang baru di hidupnya.

Memikirkan itu, ia meremas kotak susu di tangannya dan melemparkan kotak malang tersebut ke tempat sampah.

Tak lama kemudian terdengar suara kenop pintu terbuka, terlihat sosok laki-laki yang mengenakan overall putih dengan kaus bewarna kuning terang yang langsung bisa Xiao kenali—Aether. “Ready for your first first pottery class?” tanya Aether sambil tersenyum lebar sampai-sampai mata bulatnya menyipit.

Ah, bagaimana Xiao tidak jatuh hati.


“Sorry, Gue ngerepotin lo banget,” kata Xiao yang sedari tadi gagal membuat base gelas yang kokoh, tangannya (masih) mencari cara agar gelas yang ia buat sesuai dengan bentuk yang ia inginkan. Aether yang melihat tingkah newbie Xiao langsung mendengus, “Kenapa sih ada orang yang selalu minta maaf atas kesalahan yang nggak mereka lakukan?” kata Aether—kata-kata yang menohok Xiao. “I mean, selama kamu disini, selama kamu berada disampingku, kamu boleh minta tolong ke aku. Itu hak kamu.” Kata Aether sambil menggeser kursi dari tempatnya sehingga mereka berhadapan langsung ditengah-tengah pottery wheel.

“Ehm—maksudnya untuk pottery class.” Ralatnya kembali, Aether memalingkan wajahnya, tetapi tidak dengan telinganya yang memerah sepeerti kepiting rebus. “Uh, izin?” Gerakan tangannya menunjuk ke tangan Xiao yang langsung dipahami oleh si pemilik tangan, “Silahkan.” Setelah mendengar izin dari si pemilik, Aether langsung menyentuh gelas pottery Xiao, tanpa sadar, jemari-jemari mereka bersentuhan dengan tidak sengaja yang menciptakan sengatan kecil dari kedua belah pihak. “Ngomong-ngomong, aku baru tahu kalau kamu Xiao-yang-itu,” kata Aether, alih-alih mencairkan suasana yang sedari tadi awkward—entah karena apa tetapi memang atmosfir studio hari ini tampak lebih berat daripada biasanya.

Xiao diam sejenak, “Yeah, it’s inevitable, but I am.

“Kenapa… Springvale?” Kata Aether, ia mendongakkan kepalanya sehingga netra emasnya bertatapan langsung dengan netra amber milih Xiao, dengan dada yang berdebar-debar pula.

Terdapat jeda yang cukup panjang akibat pertanyaan Aether. Kali ini mereka hanya bertatapan, saling mencari jawaban pada netra masing-masing yang kemudian diputus oleh suara dering ponsel Xiao.

Si pemilik ponsel, Xiao, kemudian langsung buru-buru mengambil ponselnya di saku kiri celananya, melirik Aether sejenak kemudian meminta maaf singkat dan berjalan keluar studio—meninggalkan Aether tanpa jawaban.


© sha — @sorascent 2021

Aether mengusap peluh di kepalanya setelah kurang lebih dua jam duduk di depan pottery wheel. Ya, dia sedang membuat sebuah prototype mangkuk untuk koleksi pottery terbarunya yang akan diliris sekitar bulan depan. Ia mencuci tangannya di wastafel dekat meja dan mengambil handphonenya yang terletak di saku jeansnya.

“Oh? Pendatang baru lagi? Aku rasa rumah ini sudah seperti pelarian orang kota saja,” katanya sambil beranjak membuka pintu studio pottery-nya, yang berada persis di sebelah rumah mereka—rumah Aether dan Lumine.

Aether beranjak naik ke lantai dua rumahnya, tempat kamarnya berada dan satu kamar kosong, yang biasanya disewakan sebagai tempat penginapan sederhana. Ia membuka pintu kamar kosong di sebelah kamarnya, dan mulai membersihkan dan merapikan kamar itu sesuai dengan instruksi Lumine pada pesan yang tadi Ia dapat.

Tidak lama kemudian, bel rumahnya berdering. “Ah, sebentar!” teriak Aether dari jendela kamar. Ia langsung buru-buru turun membuka pintu untuk tamu barunya yang akan menjadi tetangganya selama beberapa minggu kedepan.

“Selamat datang—Ah, maaf telat! Tadi kamarmu sedang dibersihkan! Silahkan masuk!” kata Aether.

Lelaki itu bergeming sebentar, kemudian memasuki ruangan dengan satu koper yang cukup… besar. Aether berdiam diri di tempat, melihat ke arah laki-laki tersebut yang terlihat sedikit aneh.

Bagaimana tidak, ia memakai jaket kulit hitam dengan kaus putih, ripped jeans, sepatu canvas, topi, masker, hingga kacamata yang semua bewarna hitam—yang sangat tidak cocok dengan cuaca panas Springvale.

Memberanikan diri Ia bertanya, “Maskernya nggak dilepas aja? Cuaca Springvale hari ini panas banget loh?”

Lelaki itu menurunkan sedikit kacamata hitamnya, sehingga netra emas Aether bertatapan langsung dengan netra amber lelaki tersebut. “Ah, tidak apa-apa.”

Aether menghembuskan napasnya, “Okay? Kalo gitu mau langsung ke kamar kamu gimana? Anyways, aku Aether.” kata Aether sambil naik ke tangga diikuti oleh lelaki itu.

“Hmm,” jawabnya. “Gue Xiao.”

Setelah mencapai didepan kamar Xiao, Aether membuka kamar didepannya dan memberikan kunci kamar kepada Xiao—lelaki aneh, “Kamarku di sebelahmu, Dapur ada di lantai bawah, Kamar mandi ada di pojok, yang pintunya warna cokelat. Kalau ada masalah kamu bisa cari aku di studio. Sela—“

Thanks,” selanya sambil masuk ke kamarnya, yang menyebabkan Aether syok sampai tidak bergeming beberapa detik di depan pintu kamar Xiao.

“—mat beristirahat…”


© sha — sorascent 2021