That's it.
Aether mengatur napasnya dan menepuk dadanya perlahan, berusaha untuk menormalkan degup jantungnya yang kian bertambah seiring waktu yang mereka habiskan bersama di hari terakhir ini. Setelah dirasa siap, ia kemudian mengetuk pintu kamar Xiao.
“Masuk, Ae,” sahutnya dari dalam.
Ia kemudian masuk, terlihat Xiao sedang membelakanginya dengan koper besar yang ia bawa ketika pertama kali menginjakkan kaki di Springvale. “Sibuk ya? Aku nggak ganggu kan?” tanya Aether sambil berjalan kearah kasur single milik kamar Xiao, dan duduk disisi kasurnya. Xiao menoleh kearah Aether, “Engga kok, Gue emang nunggu kamu, Ae.” katanya.
Aether memilin rambut panjang emasnya yang dikepang spesial oleh Lumine. Sebenarnya, ia tidak mengerti kenapa hari ini Lumine bersikeras untuk menata rambut Aether, dengan berbekal jepitan-jepitan gratis yang sering adik perempuanya dapat ketika melayani customer di toko kuenya. Alhasil, hari ini rambut Aether terlihat seperti gulali kuning dengan sprinkles warna-warni. “Jatuh tuh jepitanmu,” kata Xiao sambil membenarkan jepitan yang jatuh di sela rambutnya.
‘Archons!’ teriak Aether dalam hati. Karena kesal dengan jepitan-jepitan yang semakin lama makin jatuh, Aether melepaskan semua jepitan di rambutnya. “Lho, kok dilepas semua?” tanya Xiao bingung, jemarinya menuju kepangan yang disampirkan di bahu kanan Aether, memainkan ujung rambutnya. “Habis, aku nggak nyaman. Kalau pakai jepitan, rambutku cepat rontok,” jawab Aether sambil melihat Xiao yang berdiri di hadapannya.
“Your hair is so soft,” gumam Xiao. Aether membelalakkan matanya mendengar itu, ia menatap Xiao dengan pandangan… yang tidak bisa ditebak. Xiao yang paham maksud Aether kemudian berdeham sejenak dan langsung duduk di sebelah Aether—sisi kasurnya.
Hening sejenak, sampai-sampai suara jangkrik terdengar dari luar kamar. Xiao menghela napasnya sejenak sebelum memulai percakapan, “Jadi, semua bermulai ketika gue suka sama sahabat gue sendiri, Chongyun.”
Tentang semua yang terjadi, tentang kenapa ia memilih Springvale.
Aether menoleh kearah Xiao yang duduk disampingnya. Xiao merengangkan kedua tangannya, kemudian kembali bercerita tentang semua yang Aether tidak ketahui. Mulai dari kehidupannya di Liyue bersama kedua sahabatnya—Xingqiu dan Chongyun. One-sided love-nya dengan sahabatnya sendiri yang ternyata sudah berkencan dengan sahabatnya yang lain secara diam-diam. Tentang kejadian pernyataan perasaan Xiao malam itu, sehabis konser solo musiknya. Tentang dirinya yang merasa dikhianati oleh kedua sahabatnya. Tentang kacaunya dirinya malam itu, sampai sampai Zhongli dan Hu Tao pusing dibuatnya. Tentangnya yang ingin rehat sejenak meninggalkan Liyue, menuju Mondstadt—Springvale, karena mendiang orang tuanya bertemu di kota ini.
“The saddest thing about betrayal isn’t how you got betrayed, but by who,” ucapnya yang mengakhiri sesi bercerita malam itu. Aether bergumam, ia tampak berpikir sesuatu. “Jadi kemarin yang nelfon kamu itu Chongyun?” tanyanya yang dibalas anggukan dari lawan bicaranya. “Dia ngajak berdamai sih, tapi… gue masih mikir apa gue maafin aja ya? Rasanya terlalu childish untuk orang sebesar gue.”
“I think… it’s okay buat memaafkan dan ngga memaafkan seseorang, itu pilihanmu. Hidup memang nggak selalu indah because it’s actually how life works,” kata Aether sambil menjatuhkan tubuhnya di kasur dibelakangnya yang diikuti dengan lawan bicaranya, Aether menghadapkan tubuhnya kearah Xiao sehingga mereka berbaring berhadapan. “Tapi Xiao, aku harap ada sesuatu di dalam hidup kamu yang yang ngebuat kamu bersyukur kalo kamu punya hidup yang seindah ini,” Aether menutup matanya sejenak dan menghela napasnya, “And you can tell me the reasons why your life becomes wonderful,” lanjutnya.
Xiao membelalakan matanya. ‘Oh Archons, the reasons why my life becomes wonderful it’s you, Aether.’ batinnya. Netra amber Xiao menatap netra emas milik Aether, jemari Xiao menyentuh pipi bulat sang empunya netra emas, mengusapnya perlahan.
“Can I hug you, Aether?” tanyanya.
Tanpa ba-bi-bu, Aether merentangkan tangannya ke arah Xiao, memajukan tubuh rampingnya, mendekap, dan menenggelamkan wajahnya dilekukan leher Xiao. Lawan bicaranya tidak ingin kalah, ia memeluk erat tubuh Aether sebagaimana Aether memeluknya saat ini.
And Xiao found home between his arms.
© sha — @sorascent 2021