Raindrops, Love, and Sunshine

Latihan paskibra kali ini memang melelahkan, tetapi bagaimanapun juga Xiao dan rekan-rekannya harus bekerja ekstra demi menampilkan kreasi paskibra terbaik untuk pensi SMA Teyvat yang diadakan sebentar lagi.

Xiao mengusap peluh yang terus tercucur pada kening kepalanya, mengingat pada kejadian tadi, entah mengapa setelah absen bertahun-tahun, akhirnya ia mendapat kiriman message corner dari Sender Langit yang dahulu sering ia tunggu, hatinya terasa hangat.

Tunggu, tunggu. Hangat?

Xiao menggelengkan kepalanya pelan, melupakan tentang keanehan pada hatinya. 'Inget, ada Aether. Aneh banget lo deg-degan sama orang yang nggak ada wujudnya? Non sense.' batinnya sebelum meneguk kaleng susu yang diberi Langit.

“Langitnya udah gelap, kayaknya bakal hujan deh. Kayaknya latihan buat hari ini sampai disini dulu ya!” teriak Thoma pada sekumpulan adik kelasnya yang berkerumun di lapangan sekolah mereka. Xiao mengekor mengikuti Thoma di belakangnya, kemudian mengucap sepatah dua kata terima kasih dan penutup kepada rekan-rekan dan adik kelasnya yang sudah mengikuti latihan sore ini.

Gemuruh langit dan gerimis pun turun membasahi tempat mereka berdiri dan mereka bubar begitu kata terima kasih sekaligus yel-yel disorakkan. “Xiao! Gue duluan, ya! Udah ditunggu sama Ayato nih bareng supirnya gue nggak enak,” kata Thoma sambil menepuk bahu Xiao pelan, Xiao mengangguk dan terdiam sebentar di koridor kelas melihat punggung Thoma yang buru-buru keluar menuju parkiran untuk menemui sang pacar. Sejenak ia melihatnya iri karena siapa sih yang nggak mau punya pacar yang mau nungguin lo selesai ekskul? Atau post-school date yang kelihatannya lebih seru.

Ia menghela napasnya sejenak, memegang hoodie abu-abu yang ia sampirkan di pinggir bahunya, November always rain. Hujan selalu berhasil membuatnya tenang dan khawatir. Khawatir akan peristiwa masa lalu dan sekaligus suara rintik hujan yang membuat hatinya tenang. Berjalan sedikit sampai dirinya sudah berada di gerbang lobby siswa, menghampiri hujan lebih dekat yang mengakibatkan sepatu dan seragam batiknya terkena percikan air.

Aw, ow, ow!

Gerutu pemuda di sebelahnya, seragam batiknya basah kuyup, dengan celana abu-abunya yang digulung sampai lutut—sambil menggantung sepatu hitamnya.

“Nunggu hujan reda ya?” katanya.

“Hm, as you can see,” jawab Xiao pelan sambil menengok ke arah lawan bicaranya yang terlihat sedang menyilangkan tangannya, tampak kedinginan sebab berlari menuju tempatnya.

Xiao melihatnya langsung melingkarkan hoodie abu-abunya ke leher pemuda di sampingnya. “Gue nggak tega liat lo kedinginan begini, Aether. Please take care of yourself first.”

Aether hanya diam diperlakukan seperti itu, bahkan sebaliknya—ia merasa hangat. “Eh, tapi hoodie lo nanti basah—“

“Nggak apa-apa.” selak Xiao. “Kalo lo sakit nanti OSIS-nya nggak ada yang ngurus,” tambahnya yang dijawab anggukan pelan lawan bicaranya.

Sorry Xiao, tapi gue bisa mendekat sama lo nggak, masih dingin soalnya,” kata Aether sambil tertawa pelan. Xiao mendengus mendengarnya.

“Oke then, we should get close like this,” Jawab Xiao sambil merangkul pundak Aether, mendekatkan tubuh mereka sampai-sampai bahu mereka bersentuhan.

Hanya ada suara gemericik air hujan, tetes demi tetes hingga percikan air menyebar membuat genangan, aroma petrichor hujan yang menguar, dan suara dua detak jantung yang disembunyikan dalam derasnya hujan.

Xiao tidak pernah tau kalau hujan bisa semanis ini. Dengan mengandalkan kata-kata sederhana, afeksi yang amat begitu minim, batik yang kian basah, dengan pundak yang menyatu dengan Aether.

Ah, raindrops, love, and sunshine.


© sha — @captainseijo 2021