Sabtu
Sabtu siang itu, terlihat Aether sedang duduk di kursi teras rumahnya, kakinya menyilang, dengan tangan yang terangkat memperlihatkan jam tangan di pergelangan tangannya, menunjukkan pukul satu. Dia menghela napasnya, berusaha mengabaikan kekesalannya kepada sahabat sejati sekaribnya—Venti, yang dikenal sebagai orang terngaret nomor satu dalam hidup Aether. Sebenarnya, mereka janjian untuk pergi ke Mekdi jam dua belas siang, tetapi sekali lagi ini Venti, ia pasti baru mandi jam dua belas.
Sambil menunggu Venti datang, ia mengambil handphone-nya di saku kanan bajunya. Membuka twitter, kemudian jemarinya mencari username pujaan hatinya—Xiao. Dia terdiam sebentar, kemudian tanpa sadar ia membaca pesan-pesan yang ia kirimkan tadi malam kepada Xiao memakai akun private-nya. Pikirannya melayang ke memori-memori saat sekolah menegah pertama kelas tujuh dulu, dimana dia mengalami lovestruck saat upacara bendera hari Senin.
Awalnya, sama seperti murid lainnya yang membenci upacara bendera dan hari Senin, seperti biasa berbaris sesuai kelas, kening penuh dengan peluh dan kaki yang hampir pegal karena terlalu lama berdiri. Tapi tidak lagi setelah Aether melihat seseorang berambut hijau kehitaman, lengkap dengan seragam putih khas pengibar bendera yang kala itu menangkap hatinya. Seketika peluh di keningnya membeku, pegal di kakinya menghilang, dan dadanya berdebar.
Sejak kejadian itu, hari Senin adalah hari yang tidak ingin Aether lewati.
“Aether!” suara klakson motor dibunyikan, pasti Venti. Aether berdiri, membuka pagar rumahnya—menghampiri Venti dengan senyum sumringah menyebalkannya. Ia memukul pelan punggung sahabatnya itu sebelum naik ke jok belakang motor vespa biru kesayangannya. “Sori nih, tadi gue nyuci si cantik dulu. Yaudah yuk, let’s go!”
“Lo cerita ke Xiao kalo gue hampir pipis di celana pas nonton horror di bioskop? Gila lo,” katanya sambil mencelupkan kentang goreng Mekdi ke es krim vanilla Aether. Aether mengangguk sambil tertawa melihat kelakuan aneh bin ajaib sahabatnya. “Iya, abisnya tingkah lo konyol banget, cocok jadi komedian,” balas Aether.
“Terus lo mau gimana lagi sama gebetan lo?” tanya Venti, mengeluarkan smirk andalannya, “Lo yakin mau jadi sender anonim terus?” tambahnya.
“Enak gini nggak sih? Jadi dia nggak harus tau gue itu Aether, gue takut dia kecewa, Ven.”
Venti menghela napasnya kesal, kedua tangannya terangkat menuju pipi Aether—mencubit kedua pipinya gemas. “Siapa sih yang nggak mau sama lo, Ther? Bener kata Lumi, lo kebanyakan mikir,” lelaki yang tercubit hanya mendengus kesal. Netra emasnya kemudian melirik kearah luar pintu kaca Mekdi, menangkap seseorang yang tidak asing baginya.
Tidak jauh dari kursi Aether-Venti, pintu Mekdi terbuka. Memperlihatkan tiga sejoli yang membuat Aether terdiam seribu bahasa. Venti didepannya sampai-sampai menengok ke belakang, penasaran. Kemudian tangan kanannya—pindah dari pipi Aether menjadi terangkat, melambai kearah sosok teman sekelasnya.
“Hu Tao!”
Perempuan berambut hitam yang dikuncir dua itu menoleh, menghampiri meja mereka berdua. Bertukar gerakan salam tangan ala anak sosial dengan Venti, kemudian netra krimson milik gadis itu berpindah kearah Aether. Melihatnya terang-terangan dari atas hingga bawah, seakan memikirkan sesuatu. Tangan mungilnya terangkat, “Gue Hu Tao, temen sekelasnya Venti.”
Aether mengangkat tangannya kikuk, memberi salam kepada gadis didepannya. “Aether dari MIPA 6,” tangan kirinya memegang tengkuknya—ia merinding, entah gara-gara tatapan Hu Tao atau Xiao yang sedang berdiri, menunggu pesanannya di depan kasir Mekdi bersama Kazuha.
“Tao! Sini dulu!” panggil lelaki berambut platinum blonde dengan highlight merah di samping kanannya. Bersama dengan Xiao, mereka berdua menunggu Hu Tao untuk segera menghampirinya.
“Eh, Venti, Aether, gue kesana dulu ya, sampai jumpa lain waktu!” kata gadis itu sebelum membungkuk sebentar, kemudian berlari kecil menuju kedua temannya.
Wow.
Aether benar-benar tidak mengira kalau hari ini merupakan salah satu hari terberuntungnya.
“Jodoh banget diomongin bentar orangnya udah nongol.” ledek Venti, sebelum meneguk sisa kolanya sampai tidak tersisa.
“Ven, pulang yuk. Gue lemes banget ini. Jantung gue udah ngga beraturan detaknya.”
Selalu begitu.
Aether yang selalu menjadi pengecut ketika berhadapan dengan Xiao.
Mungkin di suatu hari nanti ia akan memberanikan dirinya untuk menyatakan perasaannya. Bukan bersembunyi atas nama Sender maupun Langit—melainkan sebagai Aether.
© sha — @captainseijo 2021