i’m wonderstruck.

Aether berlarian menuju depan venue yang telah ramai, berdesakan bersama lautan manusia. Sebab, ia ingin melihat Xiao yang sedang perform dengan bangganya dan Aether tentu saja tidak akan mungkin melewatkannya. Here it is, walaupun ia sudah berkali-kali melihat Xiao dengan seragam paskibranya, ia tidak pernah merasa bosan.

It’s been four years and he still get those stupid butterflies.

“Jadi, Xiao ya?” tanya Cyno disebelahnya, Aether disebelahnya hanya mengangguk-angguk pelan. Ia menggenggam handy talkie-nya erat, kemudian ia menghela napasnya. “Emang jelas banget, ya?”

“Jelas. Banget. Xiao bego sih kalau nggak tau kalo selama ini lo suka sama dia,” Cyno menyelipkan tangannya di saku celananya. Iris jingganya menerawang kearah lautan manusia yang (sekarang) sedang menikmati peforma band sekolahnya.

It’s because I’m not that close with Xiao,” Aether menoleh melihat kearah Cyno, sedangkan sang lawan bicara masih (tetap) melihat kearah lain—alih-alih tidak ingin melihat kearah Aether.

“Hey Cyno, I’m sorry for your feelings, I can’t give it back.

Cyno mendengus, kemudian tertawa pelan.

“Udah gue bilang berapa kali sih, Eter? Dari gerak-gerik lo aja gue udah tau kalo kita cocoknya temenan,” ujar Cyno, tangannya ia angkat sehingga dapat merangkul pundak Aether.

“Oke, sekarang jemput pangeran lo, Aether. Awas aja kalo ditolak, perasaan gue mahal harganya,” guraunya. Aether kemudian mendengus dan mengangguk mendengarnya. Oke! Wish me luck! Thank you and sorry, my favorite ketos! guraunya, tangannya mengepal, menggangkatnya kemudian berlari menjauhi Cyno.

I wish I were heather.


Jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam ketika panitia pensi sedang bersiap untuk performa artis—yang paling ditunggu-tunggu. Xiao memegang hoodie abu-abunya, mencoba menormalkan detak jantungnya yang sedaritadi berdetak tak beraturan. Xiao tahu seharusnya ia tidak sebegitu excited karena sebentar lagi ia bertemu sender message corner-nya hari ini, tapi hatinya berkata lain.

Nggak, nggak. Gue masih suka Aether.

Tidak ingin pusing memikirkan itu, ia akhirnya mengambil ponselnya dari saku hoodie-nya, kemudian mengetik pesan pada sender.

Xiao: Gue di depan booth minuman, lo kesini ya, gue pake hoodie abu-abu. Xiao: Sends a photo.

Satu menit.

Lima menit.

Tiga puluh menit.

Belum ada tanda-tanda jawaban masuk. Lagi sibuk kayanya, pikir Xiao. Ia kemudian menyelipkan kembali ponselnya pada saku hoodienya. Kemudian netra ambernya beralih pada panggung venue dengan pacar Kazuha, Scaramouche dan teman sekelas Aether, Yanfei, sebagai pembawa acara malam ini. Kerlap-kerlip lampu sorot panggung serta sound musik yang cukup keras sebagai background suasananya kala itu. Xiao menutup matanya, menunggu sang penyanyi membawa lagu pertama yang akan dinyanyikan. Sorak sorai penggemar dalam lautan manusia sudah menggelegar, sebagian sudah menyiapkan ponsel masing-masing untuk merekam performa sang artis, sebagian lagi menikmati acara dengan orang terkasih, ataupun orang tersayang.

Have I ever told you; I want you to the bone

Ketika lagu pertama dinyanyikan, Xiao merasakan presensi seseorang disebelahnya. Ia kemudian membuka mata. “Hey, do you want some?” tanya orang disebelahnya.

It’s Aether.

Well, siapa yang tidak expect dengan adanya Aether disini, atau jangan-jangan…

Thanks,” kata Xiao sambil mengambil sekaleng susu pada tangan Aether. Yah, sekali lagi siapa sih yang nggak nyangka? Jantungnya sekarang bekerja empat kali lebih cepat dari biasanya dan telinganya sudah pasti memerah.

I want you to the bone, I want you to: Take me home, I'm falling, love me long, I'm rolling

Xiao menoleh kearah Aether, ia memakai t-shirt kuning dengan tulisan ‘CREW’ di punggungnya dengan jeans selutut dan sepatu converse merah. Surai emasnya terkepang rapih dia sampirkan kesamping. “Xiao, lo mau lebih deket nggak? Gue mau ngerekam dikit, buat update. Hehe,” cengirnya.

“Tapi Aether, gue lagi nunggu seseorang,” jawab Xiao agak sedikit sendu karena menolak permintaan dari uhm, crush-nya. Aether mendengarnya cemberut, kemudian tanpa aba-aba ia menarik lengan Xiao sampai dia dapat berbisik di telinga Xiao. “Gue sendernya, gue Langit.”

Kata-kata itu cukup mengejutkan Xiao, jujur. Ia memegang telinganya yang sekarang panas akibat Aether. Xiao bergeming. Pikirannya kacau akibat: (1) Sendernya atau Langit selama ini adalah Aether; (2) Artinya, selama ini dia dan Aether...?

Disaat Xiao (masih) belum bisa memproses kata-kata Aether tadi, Aether menghela napasnya sejenak, “Well, kaget ya? Maaf gue baru bisa berani confess sekarang,” ia meneguk kaleng susu di tangannya. “Then, will you—”

Go out with me?”

Sekarang, giliran Aether yang terdiam mendengarnya. Dilihatnya manik amber milik Xiao tertuju padanya. Mulutnya mengangga, ia tidak bisa merespon apa yang dikatakan Xiao. Serius deh, Aether benar-benar tidak menyangka kalau Xiao—um, confessing his feelings too?

Dengan tangan bergetar, ia menggengam tangan Xiao dengan muka yang sangat merah, awkward—menahan teriakan di dalam pikirannya yang sudah seperti kapal pecah, kemudian dengan pedenya menarik tangan Xiao, mengajaknya mendekat kearah panggung venue.Let’s go?

Oh, it’s a yes.

Mind too for sure, I'm already yours, walk you down, I'm all in. And hold you tight, you calling, I'll take control, your body, and soul. Mind too for sure, I'm already yours.

Xiao tidak bisa tidak tersenyum ketika diseret paksa oleh Aether. Sebab, ia tak lagi bingung akan perasaannya, tidak akan ada lagi perasaan mengganjal ataupun bercabang yang sering ia rasakan sebelum malam ini.

Rasanya malam ini akan menjadi salah satu malam yang tidak ingin ia lupa, tentangnya, dan tentang Aether.

And for the nth time, Xiao was enchanted to meet Aether.


© sha — @captainseijo 2021