time after time
Semua berawal dari satu kalimat tarikan napas—confession, begitu orang-orang menyebutnya. Sederhana, tanpa setangkai bunga mawar ataupun buket cokelat yang dipersembahkan untuk sang terkasih. Hanya mereka berdua, pulang sekolah, disaat Aether sedang piket kelas, dengan bangku dan meja kelas dua belas sebagai saksi bisunya.
“Kak Aether, mau nggak jadi pacar gue?”
“Syo! Masa Lumi bilang aku bulol banget sama kamu.”
“Syo, aku dapet kampus impianku di Natlan! guess kita harus LDR?“
“Syo, maaf aku capek banget kuliah, rasanya pegel banget, kamu nggak akan ngerti.”
“Gimana ya rasanya punya pacar yang seumuran? Coba kita seumuran ya, kayaknya semuanya bisa lebih mudah.”
“Maaf, Syo, aku agak gimana gitu kalo bilang aku pacaran sama anak SMA walaupun kamu udah punya KTP.”
“Syo, sorry kayaknya kita nggak bisa lanjut lagi—”
Kata-kata menyakitkan itu tetap tergiang di dalam kepalanya walau sudah lewat lima tahun lamanya. Keputusan sepihak dari telefon malam itu, masih membuatnya linglung jika dipikirkan kembali. Ia tidak ingat mengapa hubungan mereka bisa serenggang ini padahal sebelum LDR, semua terasa baik-baik saja.
Natlan as cold as always. Xiao meniupkan tangannya, mencari kehangatan diantara dinginnya udara siang itu. Kakinya kemudian membawanya ke depan kafe yang akan menjadi tempat pertemuannya setelah lima tahun berpisah dengan Aether. Ia membuka pintu kafe yang disusul oleh suara kerincing bel. Manik amber-nya melirik mencari sosok yang ia kenal, sedang duduk membelakanginya pada pojok kafe. Xiao pun menghampirinya.
“Aether, udah nunggu lama?”
Bukan salahnya jika ia ingin memeluk pria di depannya. Lima tahun berlalu Aether terlihat seperti... zombie berjalan. Mata sembab, tubuh ramping yang dulu sering ia peluk semakin mengurus, terlihat dari sweater oversize yang ia kenakan sekarang hanya membuatnya semakin tenggelam saja.
Xiao ingin bertanya sebab, tetapi ia urungkan.
“Belum, gue baru sampe, abis dari rumah temen,” jawab Aether, ia menggigit bibirnya.
Bohong.
Xiao masih tahu kebiasan Aether disaat gelisah. Mengabaikan itu, ia mencari topik yang ia lewati selama lima tahun dengan Aether. Membicarakan tentang kuliah dimana sekarang? atau sekarang kerja dimana?
Xiao rindu, tentu saja. Walaupun Aether didepannya tidak seterang dahulu.
“Jadi Xiao,” Aether menghela napasnya, “I'm sorry.“
Xiao diam, menunggu si pirang memulai ceritanya. “Lima tahun yang lalu, gue kacau. Entahlah sepertinya pressure dari lingkungan yang jauh dari Lumine dan kamu. Hingga suatu hari datanglah seseorang, menawari gue sesuatu hal yang nggak gue punya, attention. Awalnya gue nolak, gue nggak mau cheating, sampai-sampai—” ia terisak dalam ceritanya.
“Sampai lo mutusin gue sepihak di telfon?” tanya Xiao, Aether mengangguk.
Xiao kemudian berdiri di hadapan Aether, membungkuk dan membisik. “Hey, do you want to talk in private?” Aether mendongak dengan mata yang beralirkan air mata, kemudian matanya menerawang ke sekitarnya. Hebat, dia sekarang menjadi tontonan pengunjung kafe itu.
Aether mengangguk, tangan Xiao mengangkat melihat responnya. “May I?” tawarnya yang direspon dengan Aether mengenggam tangan Xiao, erat. Bahkan ketika sudah lima tahun berpisah, Xiao tetap hangat kepada dirinya.
Xiao hanya diam melihatnya terisak di taksi tadi. Ataupun dia hanya mengusap kepala emasnya yang menyender padanya saat ia tidak bisa mengontrol emosinya. Lima tahun, adalah waktu yang lama untuknya menyesali semua perbuatannya.
“Sorry, jaket lo jadi ada ingus gue,” kata Aether, ketika sudah sampai di Hotel tempat Xiao bermalam hari ini. Xiao duduk di tepi tempat tidur, tangannya ia tumpu kepada kening kepalanya, ia terlihat emosi sekarang.
Tarik napas, hembuskan. “Kenapa lo nggak bilang Lumine atau gue? Gue berasa jadi pacar nggak berguna disaat lo lagi kena masalah,” ujarnya, tangannya ia kepal di sisi pahanya.
“A... Aku takut, Xiao! dia ngancem dengan embel-embel aku nggak akan lulus kuliah dan nggak dapet pekerjaan yang aku impikan!” sentaknya, air mata yang sempat berhenti tadi kemudian mengalir lagi. “Aku nggak mau ganggu kamu yang sibuk ujian masuk universitas dan Lumine yang sebentar lagi lulus... aku... ngga tahu harus berbuat apa.”
“Aether, kamu anggep apa aku dahulu?“
Hanya ada isak tangis yang terdengar dalam kamar hotel Xiao, “Maaf, for keeping you a like secret.“
Xiao menggeram, sejujurnya ia tidak ingin melihat Aether menangis seperti ini, menyedihkan. “Aether, inget kita berdua disini mau memperbaiki, bukan sebaliknya.”
“Aku capek Xiao, rasanya susah keluar dari toxic relationship, apalagi dengan dia yang mengekang dan sering kasar... aku nggak kuat,” akunya, tangannya ia naikkan sampai memperlihatkan lebam ungu di kedua lengannya. “Aku bersyukur kamu hubungin aku lagi, sampai akhirnya aku punya alasan buat mengakhiri semua ini sama dia.”
Jadi ini alasannya kenapa Aether terlihat kacau tadi.
Xiao berdiri dari kasurnya, mendekat ke arah Aether yang masih terisak. Hatinya seperti tercubit melihat Aether terus-terusan menangis. Ia kemudian melingkarkan tangannya, mendekap ke tubuh ringkih Aether.
“Want me to save you?” tanya Xiao disela pelukannya.
“And would you run away with me?”
“Yes, Aether.“
© sha — @captainseijo